Monday, September 23, 2013

(random note - renungan) Memposisikan Diri sebagai Wanita

Semua tahu, setiap wanita insya Allah akan menikah, menjadi istri lalu menjadi ibu. Nah, bagi yang belum menikah, mungkin tidak terbayang bagaimana rasanya saat kewajiban dari anak berbakti berubah menjadi kewajiban berbakti pada suami. Kemudian memiliki tanggung jawab menjadi ibu kelak. Seperti apa sih rasanya?

Saya sudah, dan (dari sudut pandan saya) rasanya memang terjadi perubahan signifikan. Ok, awalnya hidup sebagai wanita karir (bahasa kerennya kuli kantoran), bebas apa aja, mau kerja sampe jam berapa, hang out sama teman ke mana aja bebas (mentang-mentang anak kost jauh dari ortu). Nah kemudian menikah. Saya sih ikut aliran bahwa istri harus manut sama suami (tau kan, ada juga yang menganggap bahwa semestinya jadi istri berhak ngapain aja?). Bagi saya, ini bukan sekedar tradisi kolot tapi juga perintah agama. Alhamdulillah saya sih nikah sama Mas Ganteng yang pengertiaaaan buanget. Sepanjang apa yang saya lakukan bukan hal yang dilarang agama dan saya sebelumnya minta izin ke suami, pasti suami saya mengizinkan. (satu lagi terkait perizinan ini, saya sempat adu argumen sama rekan kantor-. Dia berpendapat istri gak perlu izin untuk ngapain aja, termasuk saat memakai uang gajinya. Pendapat saya beda. Justru itu gunanya minta izin, suami dan istri akan saling mengetahui apa yang dilakukan pasangan. Dan juga bisa saling mengingatkan apabila pasangan salah dalam melangkah. Apalagi suami, adalah penanggungjawab apa yang dilakukan istri. Alangkah lebih baik istri menghormati peran tsb. -nb: rekan saya cowok lho ini, hehe. Dunno what happen when someday he's got marreid)

Lanjut lagi saat asyik kerja, kemudian melahirkan dan punya anak. Ini nih yang jadi problem baru. Bukan problem sih, tapi ke arah preferensi seseorang. Jadi saya terkelitik nulis ini melihat beberapa status temen di FB mengenai posisi mereka sebagai wanita setelah menikah.
1. Damayanti. Kuliah dan sempat berkarir di bank. Dari segi finansial amat cukup, karena orang tua berpenghasilan lebih (bayangkan saja saat mahasiswa tinggal di apartemen dan dibawakan mobil oleh orang tua, setiap saat bisa nge-mall atau nyalon, sudah cukup gambaran uang sakunya kan?) Menikah dan memutuskan menjadi ibu rumah tangga. Karena baginya pendidikan anak yang terbaik adalah dari ibu-nya sendiri. Dan dia merasa suami sudah cukup memberi nafkah. Sering curhat kalau orang meremehkan status ibu rumah tangga yang dia sandang. Padahal bagi dia, karir bisa dipikir belakangan karena anak adalah hal terpenting.
2. Gita. Kuliah. Berkarir di bank kemudian pindah ke BUMN. Suami bekerja dengan penghasilan cukup. Tapi menurut dia posisi finansial akan lebih aman apabila antara suami dan istri sama-sama bekerja. Masalahnya adalah lokasi kerja. Dia ditempatkan di kota A, suami seringkali pindah site (kerja di oil&gas) sampai kadang luar pulau, dan si anak ikut mertua di kota B. Jadilah mereka terpisah satu sama lain.
3. Saya. (huahaha curcol). Saya dan suami sejak pacaran kerja di tempat sama. Namun setelah baby Na umur 6 bulan saya mendadak resign karena nanny baby Na mengundurkan diri mendadak. Tanpa pikir panjang, saya mengundurkan diri dari kantor. Perasaannya? ya jujur campur aduk. Pekerjaan saya adalah hal yang saya suka (saya itu aneh, suka kalo sibuk daripada nganggur). Saya pewe dengan jabatan saya (ceileh padahal staf biasa), rekan saya bahkan persaingan kerja dengan rekan lain (ini juga aneh, saya hobi 'musuhan' sama orang). Berkompetisi dalam karir bagi saya adalah hal menarik. Kemudian saya berpindah profesi ke ibu rumah tangga. Ya, semua orang akan setuju profesi ini paling mulia sedunia (yang ngeyel ayo adu panco ama saya). Walaupun satu sisi saya merasa ada yang hilang, tapi memang adalah bahagia tak terkira saat mengenang waktu yang saya lalui bersama baby Na 2-3 bulan ini. Melihatnya tertawa, menggendongnya, menyuapi makanan pertamanya serta melihat wajahnya saat tidur. Asli, saya gak bisa bayangkan saat dia dewasa nanti dan ingin hidup mandiri kaya...err saya jaman ABG? Mungkin saya akan merindukan sangat masa-masa kecil baby Na yang sudah dewasa dan jadi istri orang *mewek dulu, hiks!

Itulah dilema wanita. Saya amat paham, perasaan Damayanti dan Gita. Dan saya juga gak bisa asal ngejudge buruk ke satu atau yang lain. Kadang posisi saya pun sempat dilema-galau. Kadang pengen lagi adu karir di meja kerja sama cewek seumuran yang masih belum merrid, namun kadang nangis setengah mati ngebayangin baby Na nangis waktu saya naik mobil berangkat kerja.

Akhirnya, saya hanya memohon sama Tuhan, semoga Allah memberikan saya petunjukNya dalam langkah yang saya ambil.

0 komentar:

Post a Comment

thanks for stopping by

 
catatan Miss Putri Blogger Template by Ipietoon Blogger Template