Monday, August 07, 2017

(our family story) Pertama Kali Naik Kereta Berempat

Menurut saya, bepergian dengan keluarga kecil saya amatlah menyenangkan. Rame. Berasa lengkap gitu. Mungkin itulah kenapa menikah itu dianjurkan agama, karena memang menenteramkan hati. Ketika bersama dengan pasangan dan anak, ada perasaan damai di sana. Abaikan background ketika anak-anak berantakin rumah aja sih. 
(Disclaimer : Ssaya bilang begitu bukan karena saya pamer udah punya keluarga. Buka pula bermaksud menyindir yang belum keluarga kok. Bukan sama sekali… Ini hanyalah tulisan pendapat saya saja.

Back to the topic.
Bepergian berempat yang paling sering kami lakukan adalah saat mudik dari Surabaya ke Bojonegoro atau Tuban naik mobil (haha, halah jarak segitu doang mah bukan mudik yang gimana gitu yaaa, secara tiga jam udah sampe). Nah yang kemarin ini saya melakukan perjalanan jauh yang lain dari biasanya karena kami ada keperluan ke Jakarta, jadi lumayan panjang perjalanannya. Transportasi yang kami pilih adalah kereta api, dengan alasan keamanan dan kenyamanan yang baik. Ya walaupun gak murah-murah banget sih (buat kami loh ya), tetapi dibandingkan beli empat tiket pesawat ya masih lebih terjangkau naik kereta api, cukup pesan tiga bangku karena Ka masih di bawah tiga tahun jadi hanya pesan tiket infant tapi tidak berbayar (walaupun artinya harus mangku si Ka). Alhamdulillah… masih ada sisa ongkos buat jajan.

Oh ya, tiket kami pesan online di www.tiket.kereta-api.com Websitenya mudah kok untuk digunakan saat kita ingin membeli tiket online. Sekalian mengisi data penumpang, memilih kursi yang diinginkan (penting banget ini buat yang pergi rombongan kalau ingin duduk berdekatan). Dan kemarin saat ada KAI Fair tanggal 29-30 Juli 2017 sebenarnya di website ini pun memberikan sekian kursi yang harganya didiskon cukup besar, yaitu dari harga Rp 375.000 menjadi Rp 150.000 saja #mupeng. Tapi karena saya tahu terlambat, kyaaa, udah habis deh kursi yang didiskon. Mungkin belum beruntung ya.

Kereta yang kami pilih adalah Sembrani, karena jam keberangkatannya yang memungkinkan untuk mas Suami yang baru keluar kantor jam 16.30. Sedangkan kereta Sembrani berangkat jam 17.40, jarak yang cukupan untuk perjalanan dari kantor ayah menuju stasiun Pasar Turi.
Saya sendiri sudah cukup lama enggak naik kereta api (terutama yang eksekutif), terakhir sih sekitar tiga tahun lalu jaman setelah resign dari kantor di Cikarang. Yang saya ingat sih, naik kereta eksekutif itu yaa… ADEM! Hahaha, norak ya? Buat saya suhu AC yang nyaman di badan itu ya kisaran 25'-26' C saja, nah sedangkan suhu di dalam kereta yang berkisar antara 23'-24' C ya lumayan bikin saya ngumpet di balik selimut, hehehe. 

Dengan alasan itulah Na dan Ka saya pakaikan kostum atasan dan bawahan panjang. Selain supaya mereka gak merasa kedinginan, saya menduga akan susah memakaikan selimut ke kedua bocah ini, soalnya kebiasaan banget mereka nendangin selimut tiap tidur (hehe, sebenarnya kelakuan saya jaman kecil juga gitu, bahkan sewaktu opname di RS pun gak mau pakai selimut – kalau kata Mami saya sih, semua anak kecil emang gak suka pakai selimut, berasa gerah dan gak bebas nampaknya). Walau kemudian rencana saya ini agak gagal ketika ternyata si Ka sebelum berangkat malah mainan air genangan di depan rumah sehingga ‘kostum’ yang saya pilihkan berantakan dan kotor kena air genangan yang bercampur tanah, huks… Dan karena keterbatasan stok baju di rumah Surabaya maka saya hanya bisa menemukan kostum baru berupa kaos lengan pendek (tapi saya pilihkan baju yang agak kebesaran dikit biar nutup badannya lumayan) dan celana sedikit di bawah lutut *sigh…

Kemudian (setelah mengganti baju Ka) saya dan anak-anak meluncur menuju kantor ayah (sekalian nitip mobil di sana, hehehe) lalu berempat naik taksi menuju stasiun Pasar Turi.
Di stasiun Pasar Turi kami bergegas check-in di mesin pencetak tiket mandiri. Hahaha, ini juga saya hampir lupa kalau sekarang sebelum naik kereta boarding pass-nya sudah lebih mudah, cukup ketik kode booking saja di mesin pencetak tiket mandiri. Selanjutnya tiket udah terpegang di tangan. Bayangan saya masih kayak jaman tiga tahun lalu saja yang harus antri di loket buat cetak tiket online. Untuk sekarang sih hanya keberangkatan tiket jarak pendek (commuter, KRL, KRD, kereta lokal) saja yang mencetak tiket di loket pembayaran. Maapkeun saya yang norak ini...

hehehe, gapapa ya foto-foto di stasiun, emang sering lewat tapi jarang masuk





Kemudian kami masuk di ruang tunggu kereta eksekutif (saya juga baru tahu desain ruang tunggu yang baru di stasiun Pasar Turi ini) lebih bagus dan nyaman untuk menunggu. Anak-anak juga betah di dalamnya. Oh ya, jangan lupa juga menyiapkan tanda pengenal (KTP dan sejenisnya) saat masuk ke ruang tunggu dan saat akan keluar dari ruang tunggu ketika menuju ke kereta yang dituju ya (check-in).


asyik di ruang tunggu




Setelah kereta datang, maka kami pun masuk ke dalam kereta dan mencari kursi kami.
Ternyata Na dan Ka suka dengan kereta api. Sebelumnya sih memang pernah naik kereta, tapi yang lokal (Surabaya – Bojonegoro) dan itupun hanya bertiga sama saja. Kali ini kan berempat, dan saya penasaran apakah mereka akan anteng seperti kemarin naik kereta bertiga?

Ternyata…

belum mau duduk anteng di kereta


malah minta foto pose aneh-aneh

 Mereka malahan berisik banget, becanda kenceng di dalam gerbong. Mana kebetulan hanya ada mereka yang bocah cilik di gerbong kami, haha, ketauan banget deh biang keroknya. Kemudian si Ka juga mulai rusuh karena engga mau duduk anteng di kursinya. Malah berdiri di tengah lorong alias bikin penumpang lain yang lewat menjadi agak terganggu, ck ck ck. Pengen pipis tapi gak mau pipis. Gara-garanya karena toilet yang WC-nya jongkok dan berbahan stainless steel itu loh…Entah karena warna klostenya atau karena dia kebingugan harus pipis d tempat yang banyak guncangan. Dan merasa clueless waktu si mas Suami nanya, “Kamu gak bawa pospak dek?” ngiiing

Sebab-musababnya karena sejak Ka umur 1,5 dan dia sama sekali gak mau dipakein popok, saya udah nggak nyetok popok lagi karena berakhir sudah masa pencarian saya akan diskonan atau promo popok di supermarket). Kemudain akhirnya saya menemukan toilet di ujung lain gerbong yang klosetnya duduk dan warnanya putih baru akhirnya dia mau pipis. Sempat lho saya panik dan kebingungan gara-gara takut kalau Ka ngempet pipis gara-gara gak mau masuk toilet, lah kalau sampai dia ngompol di kereta gimana??? 

engga mau duduk tengang di kereta



Dan momen selanjutnya yang bikin ngehe adalah ketika Ka dan Na bilang, “Bunda, ayok pulang.” Semoga mereka tidak berpikir bahwa naik kereta api tidaklah semudah naik odong-odong yang bisa dihentikan sesuka hati ya...Walaupun ada benarnya mereka bilang ini pulang kereta mulai masuk arah kota Lamongan, haha, tau aja emang sih arah keretanya ke arah kampung halaman.

Moment lucu lagi adalah ketika si Na yang nampaknya mulai lapar dan bilang, “Bunda laper, pengen makan mie.”

Saya lalu mikir, waduh sekarang yang jualan di pinggir kereta yang mampir tiap stasiun udah enggak ada lagi. Jaman dulu kan sering tuh,saat kereta masuk stasiun transit, terus ada bakul-bakul panganan berteriak, “Pop mie, kopi, nasi..” Aih, sekarang sudah enggak ada lagi karena stasiun sudah mulai tertib dan bersih dari pedagang asongan liar. Walaupun sekarang senang karena enggak kaget sama suara teriakan mereka saat enak-enak tidur di kereta, namun sedih juga enggak ada lagi penjual makanan atau minuman hangat dengan harga terjangkau saat perut mulai keroncongan, hiks, maklum emak irits, dari dulu cari yang murah biarpun ngakunya penumpang kereta eksekutif. Mana sering gondok kalau makan dari restorasi kereta api. Sama-sama Pop mie, di kereta Rp 20.000. Lah kalau di pedagang asongan gitu paling mahal Rp 10.000, makanannya kan ya sama plek -si Pop mie- itu kan? Dan khusus edisi emak sayang anak, saya sempat bertanya ke mbak pramugari kereta api, “Mbak, ada menu mie rebus ngga?” dan kemudian saya berpikir keras lagi ketika si mbak pramugari menggeleng.

Waduh, Na dan Ka emang kayaknya mulai laper lagi. Tapi mereka gak mau makan nasi yang dijual mbak pramugari (urusan “makan” ini emang anak saya terkadang picky dan sering bikin saya rada puyeng sih). Kemudian saya amatin, perhentian kereta di setiap stasiun rata-rata dua menit. Saya kemudian minta izin mas Suami buat turun di stasiun berikutnya, kali ada minimarket yang jual Pop mie gitu semacam Alfa Express. Mas Suami agak ragu sih, haha, jelas khawatir kalau istrinya ketinggalan pas bayar Pop mie di kasir. Enggak lucu banget dia ke Jakarta sama dua bocah, wkwkwkwk (saya juga gak bisa bayangin sih haha). Namun karena kasihan sama Na dan Ka, akhirnya kami sepakat, saya akan turun dan lari secepatnya ke stasiun berikutnya.

Kemudian kereta memasuki  stasiun Bojonegoro. Saya cepat-cepat turun dan bilang ke petugas yang ada di dekat rel kereta, “Pak, mau beli makanan buat anak saya bentar,” dan melesat ke Alfa Express di stasiun. Rada khawatir juga karena harus melalui dua lajur rel alias agak jauh gitu dari tepi stasiun. Dan sampai di sana langsung minta tolong bantuan mbak kasir untuk bukain bungkus Pop mie kemasan pertama (saya beli dua) dan tuangin air panas ke dalamnya. Tak lupa saya minta, “Gak usah dipakein bumbu mbak, ntar aja di dalam kereta. Airnya juga gak usah banyak-banyak.” Alasannya adalah : 1. Anak saya biasanya kalau makan Pop mie, Cuma saya kasih bumbu seiprit, biar gak kebiasa makan terlalu asin. Asal ada aroma bumbu dikit aja mereka juga uda doyan. 2. Anak saya gak akan nyeruput kuah mie-nya, jadi asal kena air panas sepertiga kemasan saja sudah cukup bikin mie empuk dan bisa dimakan. 3. Lagipula kalau airnya penuh kaya SOP di kemasan, saya gak bisa bawa sambil lari dong, ntar tumpah semua malah berabe… Dan untunglah di mbak kasir (dan supervisornya) pengertian, langsung cepet-cepet bantu saya pembayaran beserta menghitung kembalian sembari saya mengisi Pop mie kemasan kedua dan mengambil sebotol air mineral. Karena sungguh, saya hanya butuh kecepatan saat itu daripada ucapan, “Selamat datang di Alfamart, ada member?” Untungnya kok pada pengertian.Aih, i love u deh Alfa Express…

Dan setelah mengambil kembalian, mengucap terima kasih serta menenteng dua bungkus Pop mie dan sebotol air mineral, saya bergegas lari ke kereta dan mencapai gerbong terdekat (pokoknya masuk Sembrani deh, ntar gerbong tempat duduk saya mah bisa dicari sambil jalan). Ngeliat saya yang terburu-buru jalan, bapak petugas yang bawa rambu kereta sampai berkata, “Hati-hati bu, engga apa-apa kok bu nanti ditungguin,” Yah, tetep aja saya takut kalau gak cepet-cepet, lah ntar kalau kereta udah kadung jalan bagaimana nasib saya  yak? Dalam hati saya membatin, ya biarpun kalaupun saya ketinggalan di stasiun kereta Bojonegoro emang sih nasib saya bakal baek-baek aja secara saya bisa pulang ke rumah Ibu saya, tapi acara saya ke Jakarta berantakan dong! Alhamdulillah saya bisa mencapai kursi tempat duduk saya tepat saat kereta melaju… Akhirnya anak-anak anteng dan mulai menghabiskan mie masing-masing.

Setelah mie habis mereka kembali mondar-mandir dan ada aja polah-nya di kursi.

Sejam. Dua jam.

Dan kedua anak ini engga mau bobok juga. Padahal hari uda mulai malam. Dan batere si emak ini udah mulai habis. Gejalanya sih pengen tidur. Cuma engga tahu memulainya harus darimana. Sementara si mas Suami malah udah tidur duluan di kursi seberang. Zzz…zZz..
Kemudian Ka saya pangku. Terus Na duduk sandaran di sebelah saya. Saya ngoceh-ngoceh dikit, terus bilang, “Bunda ngantuk nak, mau tidur… Tidur dulu yuk!” Dan entah menit keberapa anak-anak udah pules (entah saya tidur bersamaan mereka tidur atau entah pula kalau saya udah bablas duluan, hehe). Yang jelas menjelang tengah malam mas Suami yang kasihan melihat saya harus mangku Ka dan disenderin Na akhirnya mengambil Ka dan gantian memangkunya. Terima kasih ya mas Suami sayang, hehe, punggung jadi bisa agak rilek setelah beberapa jam kaku gak bisa gerak.



Oh ya, saya ada tips di bagian ini. Mencegah anak-anak masuk angin gara-gara hawa dingin itu penting lho. Biasanya saat mereka mau anteng, segera saya oleskan minyak kayu putih ke kaki, tangan dan daerah sekitar telinga – leher, lalu pakaikan mereka selimut (atau jaket bila memungkinkan). Untuk bayi di bawah setahun sih mungkin minyak telon saja cukup. Untuk tambahan juga kalau dulu saya biasanya juga pakaikan kaos kaki bayi… nah kalau Na dan Ka sekarang merasa uda gede jadi malah males disuruh pakai kaos kaki.

Sepanjang perjalanan, saya juga mengamati pelayanan dan fasilitas kereta. Nampaknya memang sudah lebih meningkat disbanding dulu. Kursi lebih nyaman, pakaian pramugari-pramugara juga lebih fresh. Toilet juga sudah lebih bersih, karena setiap beberapa jam ada cleaning service yang mengecek kebersihan toilet. Udah engga ada lagi cerita penumpang yang duduk di dekat pintu yang menghirup aroma pesing dari toilet. Ditambah kemudahan pemesanan tiket online dan cetak tiket mandiri, memang pelayanan kereta jadi lebih baik dibanding sebelumnya.

Dan akhirnya menjelang jam empat subuh kami mencapai stasiun Jatinegara, di mana saya berencana turun karena kakak sepupu saya rumahnya ada di daerah Kampung Jembatan, lebih dekat dengan stasiun Jatinegara ketimbang harus turun di perhentian akhir stasiun Gambir. Cek ricek barang, anak-anak (jangan sampai ada anak ketinggalan). Akhirnya kami pun turun dengan posisi anak-anak masih tertidur. Mas Suami bilang pengen ke toilet, jadi saya memangku kedua anak setelah turun dari kereta api. Dan tepat saat kereta  api berjalan lagi, si Na terbangun dan nanya, “Boneka pisang Na mana Bunda?”

Deg.
Dan saya tersadar kalau si boneka pisang Na ketinggalan.
Hiks hiks hiks,

Kasihan banget si Na entah kenapa pas lagi sayang banget sama boneka pisangnya (sebenernya dulu punya saya sih, terus saya warisin ke Na) lha kok saya kelupaan jagain. Saya nyesel banget kenapa kok kelupaan kalau semalam saya pakai pisangnya buat ganjel leher dia supaya nyaman. Mungkin si boneka pisang terjatuh atau tertutup selimut kereta sehingga saya luput ada benda yang tidak terbawa. Sampai saya ngetik ini, saya masih merasa sedih loh. Walaupun saya berusaha menekan perasaan, bahwa semua benda bersifat duniawi itu hanyalah titipan Allah, dan kita harus mengikhlaskan benda yang hilang (lagipula toh apa artinya dibanding kehilangan benda bernyawa ketimbang benda mati?)

Dan kemudian saya hanya bisa meminta maaf, “Maafin Bunda ya nak…Bunda kelupaan... Semoga boneka pisangmu nanti ditemu orang, dan akhrinya sampai ke tangan anak kecil yang bisa menyayanginya… Nanti kita beli boneka pisan yang lain ya nak” Dan Na mengangguk pelan entah paham entah tidak dengan ucapan saya.

maafin saya ya pisang...semoga kamu bermanfaat di tangan orang lain...

Kemudian kami pun keluar dari stasiun Jatinegara, menuju mobil kakak saya yang sudah menjemput sejak sejam lalu.

Hmmm, sebenernya seru sekali pengalaman naik kereta berempat ini. Bersyukur banget anak-anak enggak ada yang rewel berlebihan atau masuk angin gara-gara suhu AC, juga saya gak sampai ketinggalan di stasiun sewaktu beli makanan tadi. Alhamdulillah. Ya, saya akui hanya sedikit kegundahan hati saat si boneka pisang tertinggal. Sebagai orang yang agak obsessive compulsive agak susah menerima kenyataan ada benda yang tertinggal (meskipun sepele) semacam itu tadi. Ya Allah, saya berharap sifat buruk saya ini hilang dan saya lebih mudah ikhlas menerima keadaan konyol semacam ini, toh Allah sudah memberi banyak kenikmatan lain pada saya.

Begitulah pengalaman berempat kami naik kereta api. Semoga menghibur buat yang udah membaca ya, hehe.

Selamat berlibur atau bepergian dengan kereta api ya!


 
catatan Miss Putri Blogger Template by Ipietoon Blogger Template