Friday, April 22, 2016

(book pick) Resensi #15 : Blue Willow - Kisah Sebuah Piring

Baca buku lagi, yeiy...bukunya cerita anak lagi, tapi bagus dan menyentuh kalo kata saya biarpun gak sedih-sedih amat kok heheee...

DATA BUKU
Judul : BLUE WILLOW - KISAH SEBUAH PIRING
Penulis : Doris Gates, 1940
Ilustrasi : Paul Lantz
Alih bahasa : Rahmat Widada
Penerbit : Liliput, Yogyakarta
Tebal : 189 halaman
ISBN 979- 38130-7-5



Blurb
Hanya di mata Janey piring itu tampak sempurna. Hanya bagi Janey piring itu mempunyai kekuatan untuk mewujudkan sesuatu yang membosankan menjadi indah. Hanya kepada kehidupan yang kosong dan menjemukan piring itu menimbulkan perasaan kagum dan gembira. Dengan membungkuk di atas piring itu, Janey dapat merasakan keteduhan pohon-pohon willow. Dapat didengarnya gemericik sungai kecil ketika airnya mengalir di bawah jembatan yang melengkung. Semua keindahan sebuah taman di negeri Cina itu adalah nikmatnya yang dinikmati. Ke dalam piring biru itu Janey seolah-olah telah melangkah menuju dunia lain yang benar-benar nyata, sama seperti dunianya, dan lebih menyenangkan.

Untuk sesaat Janey benar-benar melupakan Lupe. Barulah ketika sepotong telunjuk memdarat di atas jembatan melengkung di dalam piring itu dan sebuah suara lirih berkata ragu-ragu, "Ini piring cantik," maka Janey tersentak kembali ke dunianya yang nyaya, dengan cuacanya yang panas, bau sabun cuci, dan kemiskinannya. 

"Semua itu puny makna," Janey menjelaskan. "Piring itu menyimpan cerita. Ayah telah menceritakannya berkali-kali."
Maukah kamu mendengarnya?



SINOPSIS & RESENSI

Buku ini menceritakan kehidupan seorang anak yang tinggalnya berpindah mengikuti tempat dimana orangtuanya bekerja. Janey Larkin harus tinggal mengikuti dimana sang ayah, pekerja serabutan pertanian mendapat pekerjaan. Hidup berpindah sudah sekitar empat tahun dilaluinya, tanpa keluhan. Sampai suatu ketika dia pindah ke Ngarai San Joaquin. Walaupun awalnya merasa kesepian tinggal di sebuah pondok kecil tak terpakai di sebuah ladang, namun perlahan kesepian itu hilang saat kemudian dia menemukan teman baru yang tinggal di seberang jalan pondok itu. Namanya Lupe Romero, dan keluarganya yang ramah. Apalagi setelah beberapa waktu kemudian Janey melihat sebuah pohon willow yang tunbuh di dekat sebuah sungai. Pemandangan yang benar-benar mirip dengan gambar di piring willow kesayangannya! Janey seakan tidak ingin pindah lagi, berharap sang ayah akan selalu mendapatkan pekerjaan di San Joaquin.



Mari bicara kembali soal piring willow Janey. Itu memang hanya sebuah piring, namun sangat berharga bagi Janey. Dia selalu ikut kemanapun Janey pergi, selalu terjaga dengan aman. Setiap kali Janey kesepian, Janey akan memandangi piring willow-nya, membayangkan dan menikmati suasana yang tergambar di piring itu. Hanya itu yang mampu membuatnya lebih tenang. 

Waktu demi waktu berlalu di kehidupan Janey. Janey mulai menikmati kehidupan di pondoknya, sekolah kamp-nya yang baru serta bermain bersama dengan Lupe tentunya. Sampai suatu ketika ibu tiri Janey sakit dan ayah Janey mulai kehabisan pekerjaan. Pada saat bersamaan mandor penjaga ladang menagih uang sewa pondok. Janey memilih menggadaikan piring willow-nya supaya sang mandor memberi tenggang waktu untuk orangtuanya. Itulah saat pertama kali Janey berpisah dengan piringnya.

Saat akhirnya uang keluarga Janey benar-benar menipis, maka keluarga Larkin memutuskan pindah dari pondok. Saat membereskan perabot, Janey diam-diam pergi ke rumah pak Anderson, pemilik ladang dan pondok, berharap dapat mengucapkan perpisahan dengan piring willow-nya. Namun alangkah bahagianya Janey ketika ternyata pertemuannya dengan pak Anderson memberikannya sebuah kejutan besar.

Ternyata selama ini mandor tuan Anderson mengambil uang sewa pondok tanpa seizin tuan Anderson. Bahkan pekerjaan yang semestinya dilakukan sang mandor pun tak pernah dikerjakannya. Akhirnya tuan Anderson memutuskan memecat mandor dan meminta pak Larkin, ayah Janey untuk menggantikan pekerjaan si mandor, mengurus ladang dan ternak tuan Anderson. Itu berarti Janey akan selalu tinggal di San Joaquin, tidak akan berpindah lagi dan akan selalu dapat berteman dengan Lupe! Janey dapat masuk ke sekolah distrik seperti impiannya selama ini (ya, Janey anak yang pandai, dan dia amat suka membaca buku)-Bahkan keluarga Larkin sementara dapat tinggal di gudang peternakan Anderson, yang letaknya tak jauh dari sungai dan pohon willow yang selalu dipandangi Janey seperti gambar di piringnya. 



Begitulah kehidupan keluarga Larkin yang berubah. Janey juga akhirnya mengetahui bahwa di balik kedisiplinan ibu tirinya, ternyata ibu tirinya amat menyayanginya. Itulah kenapa dia selalu menyimpan piring willow itu untuk Janey, karena itu peninggalan ibu kandung Janey. Bahkan ibu tiri Janey memiliki impian...untuk memajang piring itu di tempat yang pantas, saat mereka sekeluarga sudah memiliki sebuah rumah yang layak. Dan alangkah bahagianya lagi Janey, setelah kelulusan sekolah, ternyata keluarga Larkin sudah memiliki rumah baru. Sebuah rumah bata di dekat pohon willow. Dan si piring willow akhirnya punya tempat terhormatnya, di rak atas perapian.

***

Membaca buku ini membuat saya cukup hanyut ke dalam suasananya, merasakan bagaimana kejenuhan dan kesunyian yang dirasakan anak kecil yang baru pindah rumah. Apalagi sebenarnya kepindahannya pun ke sebuah rumah yang dapat dikatakan tidak layak, sebuah pondok kecil dan perabotan seadanya. Itupun sebelumnya Janey sudah seringkali pindah rumah, dengan kondisi seadanya. Hmm, di negara kita pun sebenarnya banyak pula yang kehidupannya di bawah garis kemiskinan seperti ini, dimana anak-anak tinggal di gubuk seadanya yang mungkin kurang nyaman dan kurang sehat. Karena itu saya seperti dapat memahami pikiran Janey. Dan kemudian saya bahkan ikut senang saat membaca kisah ini. Ketika Janey mendapat sahabat baru - Lupe yang periang, berkenalan dengan guru kamp yang baik, menemani sang ayah ikut lomba memetik kapas... Kehidupan anak-anak yang alami di pedesaan. 

Kemudian saya juga turut membayangkan suasana di piring willow Janey. Memiliki rumah sederhana di dekat pohon willow, yang di sampingnya ada sungai kecil yang indah...wow nampaknya menyenangkan ya. Saya juga pernah punya bayangan rumah impian semacam ini saat masih kecil. Punya rumah dengan pohon yang rindang. Hihihi. Makanya saya seperti mampu membayangkan apa yang Janey rasakan. Sangat wajar bagi anak seperti Janey yang mendambakan sebuah rumah dimana dia dapat merasakan kehidupan yang nyaman...

Menurut saya, penulis bagus sekali dalam membuat cerita ini. Membuat saya sebagai pembaca hanyut dalam cerita. Memahami kehidupan sosial di sekitar kita beragam. Masih banyak anak kecil yang hidup di tempat yang bukan impian mereka. Mungkin anak yang seperti Janey masih bisa bersyukur masih berada di alam 'damai'. Namun bagaimana kehidupan anak kecil yang berada dalam pengungsian perang atau bencana alam? Sudah tidak nyaman, tidak aman pula...

Sejenak kita diingatkan untuk melihat kehidupan di sekitar lingkungan kita, supaya mensyukuri apa yang sudah kita miliki. Syukur-syukur lagi kalau kita bisa berbuat lebih untuk mereka yang belum beruntung. 

Untuk karakter utama di buku ini, Janey cukup membuat saya salut. Di tengah kemiskinan dan ketidaknyamanan hidupnya, dia tetap menyanyangi ayah dan ibunya (walaupun ibu tiri). Selain itu semangat belajarnya cukup tinggi, dia rajin membaca (ini dengan dukungan ibu dan ayahnya juga) serta tetap bersekolah walaupun hanya di sekolah kamp (sekolah sementara untuk kaum nomaden). Selain itu keikhlasannya berkorban barang yang paling disayangi demi ayah dan ibunya juga patut dicontoh. Berkat pengorbanan dan keberaniannya, malahan secara tak sengaja dia berhasil mengubah jalan hidupnya. Memang, dalam hidup ini kita harus senantiasa bekerja keras.

Oh ya, penulis buku Dorris Gates (1901-1987) ini pun mendapat inspirasi menulis buku ini dari kisah nyata. Karena dia adalah seorang pustakawan di penampungan anak-anak pengungsi. Kisah ini diambil dari pengalaman pribadinya bersama anak-anak. Dan buku ini mendapat penghargaan Newbery Medal sebagai buku anak-anak terbaik tahun 1940. Sangat pantas!

Selain itu saya juga menyukai ilustrasi yang ada di buku ini. Paul Lantz memang seringkali membuat saya semakin nyaman dalam membaca buku. Saya suka sekali sih ilustrasi klasik semacam ini. 

Akhir kata, selamat membaca ya! Bahkan membaca buku terbitan tahun sebelum tahun kelahiran kita pun tetap menyenangkan lho...

0 komentar:

Post a Comment

thanks for stopping by

 
catatan Miss Putri Blogger Template by Ipietoon Blogger Template