Isi postingnya bukan mengenai permen Nano-Nano yang jargon iklannya adalah #manis-asem-asin-rame rasanya, lalalala...hehe, tapi mengenai bagaimana campur aduknya rasa cuti.
Yap, cuti hamil/ bersalin selama 3 (tiga) bulan yang diberikan kantor kepada karyawan wanita yang sedang hamil/ melahirkan. Hal ini sesuai UU Tenaga Kerja sebagai berikut :
Pemerintah telah menjamin hak setiap pekerja atau buruh perempuan untuk mendapatkan cuti melalui UU Tenaga Kerja Nomor 13 tahun 2003. Dalam UU ini, setiap pekerja berhak mendapat kesempatan selama 3 bulan untuk mengambil cuti seperti yang disebut dalam Pasal 82 : Pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
'Beruntung'-nya adalah perusahaan saya saklek menerapkan peraturan tsb kepada para karyawan wanitanya, dan saya selaku HRD yang saat ini mendapat job di Time Management dengan salah satu task-nya adalah memonitor jatah cuti yang dipakai oleh para karyawan termasuk cuti hamil. Beruntung, karena tidak semua perusahaan memberikan gaji utuh kepada karyawan wanita yang mengambil cuti hamil (beberapa dialami oleh perusahaan kecil/ outsource). Tetapi, kadang merasa 'iri' karena ada perusahaan yang lebih fleksibel memberikan cuti 3 (tiga) bulan kepada karyawannya, yaitu tidak mewajibkan karyawan mengambil 1,5 bulan di muka (sebelum kelahiran), tetapi boleh di-pepet ke HPL (Hari Prediksi Lahir) sehingga ada sebagian karyawan yang berbahagia dapat mengambil cuti utuh-tuh 3 bulan setelah melahirkan bayinya.
#Kadang ada pro-kontra terkait cuti ini, salah satu penjelasan dapat dilihat di sini
Sebagai HRD, saya maklum dan percaya perusahaan memilih untuk menerapkan sesuai UU dengan tujuan tidak melanggar peraturan yang ditetapkan, serta dengan berbagai aspek kesehatan seperti kebutuhan ibu hamil yang memerlukan istirahat cukup sehingga tidak seyogyanya bekerja keras di umur kehamilan tua-nya (yang juga didukung oleh obgyn saya, hehe, yang sangat pro bahwa ibu hamil sebaiknya banyak beristirahat baik fisik maupun pikiran). Walaupun di sisi lain kadang ada 'setan' yang membuat iri, wow... alangkah senangnya bagi para ibu yang dapat bersama sang buah hati sampai berumur 3 bulan setelah itu baru sang ibu kembali bekerja (walaupun setahu saya masa 3 bulan itu pun masih belum membuat seorang ibu 'puas' menemani anaknya di rumah sih).
Sekarang kita kembali ke perasaan sebagai wanita bukan karyawan. Mungkin buat karyawan wanita yang belum pernah merasakan cuti 3 (bulan) ini penasaran, kaya apa sih rasanya?
Hehe... bagi saya, cuti selama 3 (tiga) bulan adalah hal yang menyenangkan. (kebetulan) saya cuti di saat situasi kantor sedang lumayan riweuh karena penambahan karyawan secara besar-besaran sehingga semua staff HRD sedang kelabakan. Namun karena saya sudah diharuskan mengambil cuti maka semua rekan pun harus merelakan untuk melambaikan tangan ke saya ini hehe... (kadang kalau dingat juga gak enak sih merasa tidak dapat membantu rekan setim yang lagi repot, tapi apa boleh buat cuti ini wajib saya ambil karena aturan tadi).
Perasaan akibat cuti ini saya bagi 2 (dua) sesi, pertama 1,5 bulan sebelum dan 1,5 sesudah ya?
1,5 bulan sebelum melahirkan
Nah, berada di rumah (ketika itu rumah hanya diisi dua orang, saya dan suami), berasa surga! Yang biasanya setiap hari saya disibukkan pekerjaan, menghadapi problem karyawan yang gak ada habisnya, lalu kemudian saya mendapat libur panjang untuk beristirahat... benar-benar dapat mengistirahatkan otak dan fisik. Apalagi saya sebagai istri yang merangkap wanita pekerja, -yang biasanya tiap pagi berangkat kerja bareng suami dan pulang kerja bareng suami- (duh secara satu kantor gitu loh!), maka kali ini saya merasa diberi kesempatan menjelma menjadi ibu rumah tangga murni. Menjadi ibu rumah tangga yang bertugas mempersiapkan masakan dengan waktu lebih panjang (karena biasanya masak dalam waktu cepat sebelum berangkat -kadang gak sempat masak), merapikan rumah, melepas kepergian suami sampai siap menyambut kehadiran suami di sore/ malam hari. Ternyata sensasi menjadi ibu rumah tangga sangat menyenangkan! Saya mendapat kesempatan belajar -dengan waktu yang lebih- untuk menyiapkan keperluan suami, walapun selama ini pun suami saya gak pernah protes apabila saya menyiapkan keperluannya dalam waktu singkat (karena deadline) atau bahkan gak sempat memperhatikan detail keperluannya. Jadi saya anggap cuti adalah waktu untuk memanjakan suami.
Selain itu cuti juga merupakan sesi hidup kembali ke kehidupan ala anak kost. Dari yang semula pekerja yang memiliki waktu istirahat hanya di malam hari, sekarang hidup kembali seperti anak kost jaman mahasiswa, -yang sepulang kuliah/ ngerjain tugas- dapat bebas nonton TV (saya menonton ratusan FTV sepanjang masa cuti saya! hehehe... yah kebetulan channel yang terjernih di rumah adalah SCTV dan RCTI dimana jam-jam siang sampe sore bertaburan FTV), browsing internet sepuasnya, baca-baca buku/ majalah dan kegiatan santai lainnya sepanjang pagi sampai sore! #hanya saja satu yang kurang, kalau dulu jaman mahasiswi saya hobi internetan sambil tidur tengkuran, kali ini gak bisa deh (ya iyalah lagi hamidun, hehe)
Namun, ada juga sesi sedihnya...
Pertama, saya merasa ada sesi pacaran yang hilang. Saya dan suami terbiasa kemanapun berdua akibat sekantor ini... ke kantor berdua, makan siang di kantor berdua, pulang kantor berdua... Dengan saya yang 'dirumahkan', terkadang saya merasa sepi di rumah, walapun suami saya sangat pengertian dengan berusaha pulang lebih cepat tanpa melemburkan diri di kantor, mengajak saya jalan-jalan atau ngobrol banyak di kala weekend.
Kedua, saya juga merindukan sesi kesibukan di kantor, berbagi kerjaan dengan teman-teman dan yang penting -sesi rumpian dengan teman kantor-. Hal yang sudah menjadi keseharian tentunya tidak mudah hilang dari ingatan bukan?
Begitulah yang saya rasakan dari sesi 1,5 bulan sebelum kelahiran.
Bagaimana dengan sesi 1,5 bulan setelah kelahiran?
Yap, cuti hamil/ bersalin selama 3 (tiga) bulan yang diberikan kantor kepada karyawan wanita yang sedang hamil/ melahirkan. Hal ini sesuai UU Tenaga Kerja sebagai berikut :
Pemerintah telah menjamin hak setiap pekerja atau buruh perempuan untuk mendapatkan cuti melalui UU Tenaga Kerja Nomor 13 tahun 2003. Dalam UU ini, setiap pekerja berhak mendapat kesempatan selama 3 bulan untuk mengambil cuti seperti yang disebut dalam Pasal 82 : Pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
'Beruntung'-nya adalah perusahaan saya saklek menerapkan peraturan tsb kepada para karyawan wanitanya, dan saya selaku HRD yang saat ini mendapat job di Time Management dengan salah satu task-nya adalah memonitor jatah cuti yang dipakai oleh para karyawan termasuk cuti hamil. Beruntung, karena tidak semua perusahaan memberikan gaji utuh kepada karyawan wanita yang mengambil cuti hamil (beberapa dialami oleh perusahaan kecil/ outsource). Tetapi, kadang merasa 'iri' karena ada perusahaan yang lebih fleksibel memberikan cuti 3 (tiga) bulan kepada karyawannya, yaitu tidak mewajibkan karyawan mengambil 1,5 bulan di muka (sebelum kelahiran), tetapi boleh di-pepet ke HPL (Hari Prediksi Lahir) sehingga ada sebagian karyawan yang berbahagia dapat mengambil cuti utuh-tuh 3 bulan setelah melahirkan bayinya.
#Kadang ada pro-kontra terkait cuti ini, salah satu penjelasan dapat dilihat di sini
Sebagai HRD, saya maklum dan percaya perusahaan memilih untuk menerapkan sesuai UU dengan tujuan tidak melanggar peraturan yang ditetapkan, serta dengan berbagai aspek kesehatan seperti kebutuhan ibu hamil yang memerlukan istirahat cukup sehingga tidak seyogyanya bekerja keras di umur kehamilan tua-nya (yang juga didukung oleh obgyn saya, hehe, yang sangat pro bahwa ibu hamil sebaiknya banyak beristirahat baik fisik maupun pikiran). Walaupun di sisi lain kadang ada 'setan' yang membuat iri, wow... alangkah senangnya bagi para ibu yang dapat bersama sang buah hati sampai berumur 3 bulan setelah itu baru sang ibu kembali bekerja (walaupun setahu saya masa 3 bulan itu pun masih belum membuat seorang ibu 'puas' menemani anaknya di rumah sih).
Sekarang kita kembali ke perasaan sebagai wanita bukan karyawan. Mungkin buat karyawan wanita yang belum pernah merasakan cuti 3 (bulan) ini penasaran, kaya apa sih rasanya?
Hehe... bagi saya, cuti selama 3 (tiga) bulan adalah hal yang menyenangkan. (kebetulan) saya cuti di saat situasi kantor sedang lumayan riweuh karena penambahan karyawan secara besar-besaran sehingga semua staff HRD sedang kelabakan. Namun karena saya sudah diharuskan mengambil cuti maka semua rekan pun harus merelakan untuk melambaikan tangan ke saya ini hehe... (kadang kalau dingat juga gak enak sih merasa tidak dapat membantu rekan setim yang lagi repot, tapi apa boleh buat cuti ini wajib saya ambil karena aturan tadi).
Perasaan akibat cuti ini saya bagi 2 (dua) sesi, pertama 1,5 bulan sebelum dan 1,5 sesudah ya?
1,5 bulan sebelum melahirkan
Nah, berada di rumah (ketika itu rumah hanya diisi dua orang, saya dan suami), berasa surga! Yang biasanya setiap hari saya disibukkan pekerjaan, menghadapi problem karyawan yang gak ada habisnya, lalu kemudian saya mendapat libur panjang untuk beristirahat... benar-benar dapat mengistirahatkan otak dan fisik. Apalagi saya sebagai istri yang merangkap wanita pekerja, -yang biasanya tiap pagi berangkat kerja bareng suami dan pulang kerja bareng suami- (duh secara satu kantor gitu loh!), maka kali ini saya merasa diberi kesempatan menjelma menjadi ibu rumah tangga murni. Menjadi ibu rumah tangga yang bertugas mempersiapkan masakan dengan waktu lebih panjang (karena biasanya masak dalam waktu cepat sebelum berangkat -kadang gak sempat masak), merapikan rumah, melepas kepergian suami sampai siap menyambut kehadiran suami di sore/ malam hari. Ternyata sensasi menjadi ibu rumah tangga sangat menyenangkan! Saya mendapat kesempatan belajar -dengan waktu yang lebih- untuk menyiapkan keperluan suami, walapun selama ini pun suami saya gak pernah protes apabila saya menyiapkan keperluannya dalam waktu singkat (karena deadline) atau bahkan gak sempat memperhatikan detail keperluannya. Jadi saya anggap cuti adalah waktu untuk memanjakan suami.
Selain itu cuti juga merupakan sesi hidup kembali ke kehidupan ala anak kost. Dari yang semula pekerja yang memiliki waktu istirahat hanya di malam hari, sekarang hidup kembali seperti anak kost jaman mahasiswa, -yang sepulang kuliah/ ngerjain tugas- dapat bebas nonton TV (saya menonton ratusan FTV sepanjang masa cuti saya! hehehe... yah kebetulan channel yang terjernih di rumah adalah SCTV dan RCTI dimana jam-jam siang sampe sore bertaburan FTV), browsing internet sepuasnya, baca-baca buku/ majalah dan kegiatan santai lainnya sepanjang pagi sampai sore! #hanya saja satu yang kurang, kalau dulu jaman mahasiswi saya hobi internetan sambil tidur tengkuran, kali ini gak bisa deh (ya iyalah lagi hamidun, hehe)
Namun, ada juga sesi sedihnya...
Pertama, saya merasa ada sesi pacaran yang hilang. Saya dan suami terbiasa kemanapun berdua akibat sekantor ini... ke kantor berdua, makan siang di kantor berdua, pulang kantor berdua... Dengan saya yang 'dirumahkan', terkadang saya merasa sepi di rumah, walapun suami saya sangat pengertian dengan berusaha pulang lebih cepat tanpa melemburkan diri di kantor, mengajak saya jalan-jalan atau ngobrol banyak di kala weekend.
Kedua, saya juga merindukan sesi kesibukan di kantor, berbagi kerjaan dengan teman-teman dan yang penting -sesi rumpian dengan teman kantor-. Hal yang sudah menjadi keseharian tentunya tidak mudah hilang dari ingatan bukan?
Begitulah yang saya rasakan dari sesi 1,5 bulan sebelum kelahiran.
Bagaimana dengan sesi 1,5 bulan setelah kelahiran?
0 komentar:
Post a Comment
thanks for stopping by