Sebenarnya udah lewat ya kalau membahas ini secara moment -21April- lalu. Karena sekarang udah bulan Mei. Tapi saya rasa apapun gagasan di kepala adalah sesuatu yang dapat kita tuang menjadi tulisan, karena tulisan itu abadi, dan dapat mengukir sejarah. Seperti tulisan Kartini.
Kebetulan saya hari ini membaca Tempo dari perpus kantor. Ya, kadang saya emang membaca edisi yang udah terlewat. Tapi saya memilih meminjam Tempo ini karena itu adalah edisi spesial, dengan editorial Gelap-Terang Hidup Kartini. Di dalamnya terdapat banyak ulasan mengenai riwayat hidup Kartini, pandangan hidupnya yang dia tuang dalam bentuk surat, gigihnya kerja keras Kartini dalam kehidupan sosial serta betapa besar kepedihan hidup yang dialaminya.
Saya jadi terheran-heran dengan pemahaman banyak orang yang salah dalam memahami emansipasi wanita. Beberapa wanita memandang sarana kalimat 'emansipasi' sebagai alasan untuk hidup 'bebas', bukan seperti esensi yang Kartini rintis.
Kartini menginginkan wanita untuk diperbolehkan menuntut ilmu setinggi mungkin, karena baginya kaum wanita adalah tumpuan hidup keluarga dengan menjadi ibu yang bertanggungjawab mendidik anak-anaknya. Jadi jangan jadikan alasan emansipasi untuk wanita supaya bebas berpendidikan & berkarir tapi malah melupakan keluarga karena kesibukannya.
Kartini tidak suka poligami karena pada masa itu poligami didasarkan bukan sesuai tuntunan agama, melainkan sekedar tradisi & kelumrahan. Jadi jangan asal menilai poligami yang didasarkan agama dan ketimbang memikirkan poligami, sebaiknya kita bersyukur memiliki suami yang kita pilih, yang kita cintai dan berbaktilah padanya.
Kartini memikirkan nasib orang lain dengan memperjuangkan nasib pengrajin ukiran di desanya. Jadi kalau mengaku mengagumi Kartini sebaiknya lakukanlah hal yang berguna untuk masyarakat.
Itulah pandangan saya terhadap Kartini. Saat membaca kisah hidupnya, saya amat terharu dan tidak menyangka, bahwa di balik perjuangannya hidupnya ternyata amat berat. Harus menjalani pingitan di dalam rumah (kamar) selama 6 tahun, tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah ke High School, harus patah hati karena beasiswanya untuk sekolah di Belanda gagal, dan harus menerima kenyataan bahwa ia harus menjadi istri selir seorang Adipati. Hati saya ikut teriris mengingat salah satu kalimatnya, "Jangan tanyakan apa yang saya mau, tapi tanyakan apa yang saya boleh", akibat banyak keinginannya yang hanya terpendam dan tertulis lewat surat ke sahabatnya, Stella di Belanda.
Saya memang belum membaca secara lengkap tulisan beliau, karna saya hanya membaca beberapa ulasannya saja. Tapi hati saya cukup teriris membayangkan tulisan-tulisannya (yuk plan buat beli kumpulan Suratnya, hehe). Apalagi membayangkan hidupnya yang teramat singkat dan diakhiri saat beberapa hari setelah melahirkan seorang anak. Tapi mungkin yang terpenting adalah melakukan sebanyak hal yang kita bisa, dan mencoba menjadi kaum wanita yang mandiri, kuat dan tetap berbakti pada keluarga.
Untuk ibu Kartini, walapun hidup di dunia ini hanya 25 tahun, tapi terima kasih atas peninggalanmu berupa tulisan dan pemikiran yang dikenang sampai kini....
Thursday, May 09, 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment
thanks for stopping by