Friday, January 06, 2017

(kitchen's corner) Recipe #01 : Cilok Ayam (super sederhana)

Setelah membuat label entry khusus untuk beauty topic dan book review yang menggunakan urutan nomor, kali ini saya ingin membuat label topik khusus untuk memasak. Heheee, niatnya sih untuk meningkatkan keinginan saya mencoba-coba resep gitu, serajin saya mencoba produk skincare dan membaca buku. Soalnya kemampuan saya memasak masih payah gitu, malu yaaa padahal jadi ibu rumah tangga kan sudah mencapai 5 tahun. Masa iya masakan saya itu-itu mlulu...

Biasanya sih kemarin-kemarin saya masukin topik memasak di mommies journal. Tapi sekarang saya pilah lagi soalnya niat bikin label mommies journal itu untuk topik anak (parenting), bukan urusan dapur. Jadi mari kita mulai membuat postingan untuk kitchen's corner #guntingpita.

Resep pertama saya yang saya coba adalah cilok. Aci dicolok, alias pentol kanji kalau kata mas Suami. Harganya murah meriah dan rasanya mengingatkan jajanan kesukaan jaman masih sekolah atau saat saya liburan ke desa. Hihihi, pentolnya super kanji, kenyal-kenyal kagak berasa daging-nya (ya iya sih, kalau mau rasa daging ya harus beli bakso bukan cilok). Dan karena tepung terigu di dapur saya akhir-akhir ini hanya keluar dari toplesnya untuk ngebikinin si Na playdoh, maka kali ini saya ingin memanfaatkan tepung terigu untuk urusan perut. Yuk kita lihat resep saya, yang tentunya saya gabungkan dari berbagai resep yang saya baca (terimakasih ya para ibu-ibu jago masak yang suka bagi resepnya). Resep ini adalah Cilok Ayam, saya beri tambahan ayam biar enggak terlalu 'tepung doang' hihihi jadi lebih bergizi lah buat cemilan.

CILOK AYAM (SEDERHANA)

Bahan :
6 sdm tepung kanji/ tapioka
4 sdm tepung terigu
2 sdm tepung bumbu serbaguna (merk apa saja)
1/2 sdt penyedap rasa
1/2 sdt garam
250 gr ayam diblender (sebelum diblender saya rebus sebentar, opsional)
air mendidih
daun bawang dan seledri dicincang halus

Cara membuat :

1.  Campurkan tepung, penyedap rasa, garam di wadah dengan rata

campuran tepung dan bahan-bahan bubuk

2.  Masukkan air mendidih sedikit demi sedikit (susah nih saya kasih takaran, pokoknya kira-kira saja sampai adonan cukupan

3.  Masukkan daging ayam, uleni lagi
daging ayam yang diblender halus

4.  Masukkan irisan daun bawang, ratakan dan uleni sampai pas
irisan daun bawang dan seledri itu bikin aromanya sedep

adonan udah kalis, mirip playdohnya si Na hihihi...

5.  Bentuk menjadi bola-bola. Saya bikin bulatannya kecil-kecil supaya matangnya cepet dan rata sampai tengah (sambil membentuk bola-bola, rebus air mendidih di panci beri minyak goreng sedikit -kalau saya pakai air kaldu ayam rebusan sebelumnya jadi enggak perlu minyak goreng lagi-)

6.  Masukkan bola-bola cilok saat air mulai mendidih. Saat cilok terapung, tandanya sudah mulai matang (biasanya saya biarkan dulu sampai 5-10 menit baru matikan kompor)

7.  Cilok ayam siap disajikan bersama sambel cocol kesukaan


Sejak bisa bikin cilok saya jadi kepengen improvisasi cilok-cilok yang lain. Itu tuh kaya cilok yang isinya dagin cincang, keju, telur, dll. Semoga saja kapan-kapan bisa terealisasi. Sementara percobaan 2 kali bikin cilok udah bikin saya mabok cilok, haha. Mau coba resep lain dulu lah ya.

Oke, selamat mencoba membuat cilok sendiri di rumah. Lumayan kan gak perlu nunggu abang cilok lewat, haha secara kan orangnya juga gak selalu ada di dekat rumah.






Wednesday, January 04, 2017

(book review) Resensi #22 : Masa Kecilku

Kemarin saat melihat koleksi rak di rumah mertua, saya melihat sebuah buku tulisan pak Sudharmono, wakil presiden masa Orde Baru (iyaaa, jaman pak Soeharto). Isinya sih tentang perjalanan karirnya, dilengkapi dengan foto-foto. Tebel gitu bukunya. Namun gara-gara melihat buku itu, saya jadi teringat, saya juga punya buku beliau yang lain. Judulnya Masa Kecilku. Buku ini menceritakan pengalaman masa kecil beliau. Saya mendapat buku ini dari pakdhe saya (suami kakak pertama ibu yang dulu sebelum pensiun adalah Kepala Sekolah Dasar di kampung halaman ibu saya). Saya mendapat buku ini sekitar kelas 4 SD. Dan saya suka sekali membaca buku ini kala itu. Cerita yang ditulis pak Sudharmono amat membekas di hati saya yang masih anak-anak...

Ketika saya sudah sampai ke rumah orang tua saya, akhirnya saya bergegas mencarinya di lemari koleksi buku saya, dan senang sekali mendapati bukunya masih ada di situ. Langsung saya ambil dan baca kembali selama 3 hari terakhir ini. Berikut saya tulis resensi dan opini saya terkait buku tersebut,



DATA BUKU
Judul           : MASA KECILKU
Penulis        : Sudharmono, S.H.
Penerbit       : Yayasan Kasa Luhur Sejati, Jakarta 
Tebal           : 123 hal
Cetakan pertama Desember 1993
Cetakan kedua Februari 1994


RESENSI & REVIEW

Buku ini menceritakan kisah pak Sudharmono semasa kecil sampai remaja. Dan setelah membaca ulang saya baru ingat lagi, ternyata orang tua beliau ini orang Bojonegoro (bapak beliau orang Kanor, ibunya orang Balen, kedua daerah ini adalah salah satu kecamatan di Bojonegoro). Dan setelah kedua orang tuanya meninggal (beliau yatim piatu  di usia 3 tahun), beliau tinggal selama 4 tahun bersama pamannya (adik ayahnya) di kecamatan Kabuh, Jombang. Walaaah ini mah kota tempat tinggal budhe dan nenek saya (dari kedua orang tua). Ternyata kota masa lalu beliau mirip juga ya sama kota-kota yang dekat dengan saya.

buku ini terdiri dari 5 bab

Beliau lahir di kota Cerme, Gresik. Ayahnya, Soepijo Wirodiredjo adalah carik desa Kebalan, kecamatan Kanor, Bojonegoro. Sedangkan ibunya, Raden Ngaten Sukarsi adalah putri asisten wedana (camat) kecamatan Balen, Bojonegoro. Ibu beliau wafat kala beliau (Mono kecil) berusia 2 tahun dan ayah beliau wafat setahun kemudian.
hanya sedikit kenangan beliau bersama ibu tercinta
NB : ini saya yang ngewarnain sendiri (hehe jaman masih kecil dulu loh ya)

Di usia balita, 3 tahun, beliau harus menjadi anak yatim piatu. Hal ini mengharuskan dia dan sang kakak, mbak Siti harus hidup menumpang di rumah kerabat (sebenarnya Mono masih memiliki kakak lagi, yaitu mas Sunar, namun kala itu mas Sunar diikutkan kepada mas Mukandar - kakak Mono yang seibu tapi beda ayah).

membantu kakek menjaga warung dan kedapatan mengambil permen tanpa izin

Terkadang muncul pula kesedihan atau konflik dengan kerabat saat hidup menumpang tersebut. Misalnya hal ini diceritakan kala Mono kecil dan mbak Siti menumpang hidup di rumah paman (adik ayahnya). Ada keadaan di mana bibi mudah emosi dan mudah marah,  misalnya pada cerita di saat Mono kecil dimarahi dan dipukul bibinya karena ketiduran menjaga meja makan dan ikan di meja dicuri kucing.


Walau terdapat pula banyak kenangan manis seperti naik kereta dengan paklik Juwarin dari Kabuh - Jombang dan membeli onde-onde di kecamatan Ploso, atau saat paklik Juwarin dengan sayang mengobati Mono kecil yang jatuh dari pintu kereta. Namun beberapa kejadian pahit akhirnya membuat mbak Siti nekat mengajak Mono kabur dari rumah sang paman, paklik Juwarin setelah hampir 4 tahun tinggal bersama. Sehingga akhirnya terjadi komunikasi keluarga besar untuk memindahkan pengasuhan Mono dan mbak Siti ke keluarga pihak ibu. Pindah dari Jawa Timur menuju Jawa Tengah.

Ketika beliau berusia sekitar 6 tahun, selanjutnya Mono dan mbak Siti tinggal dengan keluarga dari pihak ibu di kota Rembang, yaitu mbah Siten (nenek dari almarhumah Ibu)  setelah sempat tinggal dengan salah satu kakek dari pihak ayah di kecamatan Wringin Anom, Gresik (ilustrasi cover adalah semasa beliau tinggal di Wringin Anom dan menggembalakan kambing milik kakek) Selama hidup menetap di Rembang ini dikisahkan banyak sekali cerita manis mengenai masa kecil beliau seperti kewajiban Mono menjaga kambing, menjadi 'tongkat' untuk membantu Mbah Siten bepergian, bermain tenis menggunakan raket dari papan bekas bersama kawan-kawan, belajar membuat minyak kelapa asli, dan lain-lain.

menjadi tongkat untuk mbah Siten

bermain tenis dengan raket buatan sendiri dan bola tenis bekas

Tinggal bersama mbah Siten yang baik hati selama 6 tahun dan hampir tamat HIS (dulu setingkat SD) namun kemudian Mono, mbak Siti dan mbah Siten harus pindah lagi ke Semarang (ke rumah anak tertua mbah Siten, pakde Sosro) karena pada masa itu Perang Dunia II bergulir dan turut mempengaruhi suhu politik di Indonesia, sehingga diperlukan mencari tempat tinggal yang lebih aman. Diceritakan pula bagaimana repot dan mencekamnya saat-saat Begitu pula ketika terjadi perubahan politik saat pemidahan kekuasaan Belanda ke Jepang, maka juga mengubah kehidupan sehari-hari Mono karena terjadi sekolah sempat terhenti, berganti nama serta adanya penambahan kurikulum bahasa Jepang. --- Membaca kisah ini, saya jadi membayangkan betapa susahnya hidup di masa-masa pergolakan seperti itu---  Pada jaman Mono kecil, kehidupan relatif stabil saat penjajahan Belanda (apalagi di masa itu keluarga besar Mono rata-rata orang pamong praja atau pejabat di kantor-kantor pemerintahan sehingga kehidupan ekonomi relatif lebih 'aman' meskipun Mono yatim piatu dan bergantung kepada pemberian keluarga). Namun perubahan yang nampak seram nampak diceritakan sewaktu penyerangan Jepang untuk menguasai Indonesia dan selama masa penjajahan Jepang. Karena nampaknya, walaupun hanya menjajah selama kurang lebih 3,5 tahun namun pemerintah Jepang memang lebih 'galak' ketimbang Belanda kala itu.  

menurut beliau tentara Jepang penampilannya seram dan galak

Kisah Mono kecil di buku ini diakhiri ketika pada masa Proklamasi di mana Indonesia merdeka dan mulai dibentuk TKR (Tentara Keamanan Rakyat - cikal bakal TNI) di mana Mono yang pada masa itu lulus SMP memilih untuk bergabung di dalamnya. Meninggalkan keluarganya -mbah Siten, mbak Siti (yang sudah menikah dengan kerabat dan tinggal di Pati), pakde Sosro serta keluarga lain...serta meninggalkan masa kecilnya karena saat itu Mono sudah mulai dewasa dan harus menentukan arah kehidupannya sendiri, yang beliau putuskan adalah untuk mengabdi kepada negara.

"Sejak saat itu saya menetukan dan menempuh arah hidup saya sendiri, memasuki lingkungan pergaulan dalam masyarakat, digembleng dalam perjuangan melawan penjajah dalam perang kemerdekaan, memanfaatkan kesempatan yang luas yang diberikan oleh negara dan TNI AD untuk mengikuti pendidikan umum dan kemiliteran dan turut berkiprah dalam mengabdi kepada negara di bidang pemerintahan sampai mencapai posisi yang cukup terhormat. Itu semua berkat alam kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, di samping berkat doa restu para pinisepuh semuanya." (hal 122) 

Buku ini, sekali lagi, menurut saya walaupun tidak terlalu tebal namun memberikan banyak nasihat dan cerita berkesan pada saya semasa kecil. Bahwa menjadi anak yatim piatu sesungguhnya tidak menjadikan seseorang harus berkecil hati. Bahwa di dalam kesulitan seseorang harus tetap bekerja keras untuk memperbaiki hidupnya dan berbakti pada orang tua (atau di dalam cerita ini adalah 'pengganti' orang tua, seperti kakak, nenek, paman, pakde, dll). Di buku ini saya (semasa kecil) serasa berimajinasi seperti apa sih era kehidupan di pedesaaan asal ibu dan ayah saya (yang kebetulan ada di Kabuh dan Pati) pada masa 1920-an itu... Saya membayangkan tentunya belum ada kepadatan penduduk, lalu lintas macet, suasana kapitalis seperti sekarang ini ya? Walaupun tentunya keadaan juga tidak merdeka karena masih dijajah Belanda, dan di sini juga diceritakan tidak mudah seorang anak kecil untuk dapat bersekolah. Hanya orang-orang berada, terpandang dan masih dalam keluarga pamong praja (seperti contoh beliau yang almarhum ayah dan kakeknya adalah juru tulis) sehingga masih dapat menikmati sekolah. Dan itu yang harus dipegang anak muda masa sekarang, yaitu mensyukuri kenikmatan berupa mudahnya bersekolah sehingga harus rajin belajar (dan di buku ini dicontohkan bagaimana Mono kecil tetap rajin belajar walaupun kewajibannya mengurus rumah cukup banyak, harus menggembala ternak, harus membantu pakde atau nenek), namun di sekolah dia berprestasi sehingga sempat hampir mendapat verklaring (di masa sekolah Belanda, sedikit siswa yang akan mendapat verklaring yang dapat melanjutkan ke sekolah jenjang lebih tinggi tanpa ujian masuk). Prestasi beliau semasa remaja juga cukup cemerlang. Semasa  SMP beliau juga menjadi ketua umum sekolah (kalau jaman sekarang ketua OSIS). Pada masa penjajahan Jepang beliau juga sempat ikut Seinendai (latihan dasar kemiliteran) dan terpilih menjadi pasukan istimewa (tokubetsu syotai) dan dikirim ke Jakarta untuk perlombaan. Semasa remaja beliau juga diceritakan sangat kuat dan pemberani, misalnya diceritakan pada buku ketika masih kelas 1 SMP beliau menemani kakak sepupunya dengan mengendarai sepeda rute Juana - Semarang sepanjang hampir 200 km lebih dan harus melewati perbatasan yang dijaga prajurit Jepan yang galak. Beliau juga beberapa kali mengendarai sepeda dengan rute Semarang - Pati apabila ingin berkunjung ke rumah sang kakak tersayang, mbak Siti yang saat itu sudah menikah dan tinggal di Pati.

Inti dari sang penulis, bapak Sudharmono menulis buku ini adalah agar generasi muda bersemangat dalam menjalani pendidikan dan memiliki cita-cita yang mulia untuk bangsa dan negaranya, meskipun berasal dari orang biasa-biasa atau dalam kondisi kesulitan sekalipun.

"Bahwa siapapun yang dengan sungguh-sungguh memberikan pengabdian dan berprestasi demi kepentingan bangsa dan negaranya pasti dapat memperoleh penghargaan dan kepercayaan dari negara." (kata pengantar)

Setiap generasi muda akan memperoleh hambatan dan tantangan dalam mencapai masa depan. Di masa bapak Sudharmono, mungkin hambatan terbesarnya adalah belenggu penjajah dan keterbatasan fasilitas. Sedangkan di masa ini, tentu hambatan yang kita hadapi adalah berbeda, yaitu misalnya pemanfaatan teknologi dan era digital yang memiliki 2 mata pisau, satu sisi berguna di satu sisi juga berbahaya. Misalnya saja dunia internet yang sering melenakan para pemuda, bukannya malah menggunakannya untuk menambah pengetahuan.

Sekian resensi dari saya. Semoga menambah wawasan untuk yang berkenan mampir. Jangan lupa rajin baca buku yaaa!


(beauty topic) Review #66 : Menow Kissproof Soft Lipstick - 17



Halo, jumpa dengan postingan pertama di tahun 2017. Kali ini saya menulis di beauty topic, mau ngebahas salah satu lipstick matte yang saya pakai nih. Sebenernya sih udah lama mau review si lipstick yang satu ini, apalagi pas jaman booming pertengahan tahun lalu. Cuma entah kenapa saya repot banget, apalagi kalo review lipstick kan gak afdol tanpa LOTD (Lips of the Day) yak hihihi...itu tuh yang pe-er banget buat saya.

Nah, lipstick yang mau saya review adalah Menow Kissproof. Iya, lipstick ini sempet hits banget di tahun 2016, di mana masa lipstick matte lagi digandrungi di mana-mana. Dan setelah mencoba beberapa nomor, saya menemukan salah satu yang paling favorit, yaitu nomor 17.

Oh ya, betewe saking kelamaan gak bikin review sampai akhirnya lipstick pertama saya udah tinggal seuprit gini nih, hahaha...


Untungnya masih ada satu box lagi jadi masih ada lah yang bisa difoto dengan lebih layak untuk detail produk.


Menow Kissproof Soft Lipstick 17 Powdery Matte

This liquid lipstick instanly lifts & hydrates lips
give rich, creamy, long wearing color

Ingredients : Cyclomethicone, Triethylsiloxy Silicate, Cyclopentasiloxane, Dimethicone, Isododecane, Talc, Ozokerite, Cera Microcristallina, Cyclopentasiloxane, Mica, Methylparaben, Propylparaben, BHT, BHA, may contain : CI 42090/ CI 77492/ CI 77499/ CI 77891

Netto 4,2 g


Lipstick dikemas dalam box kecil. Begitu dibuka keliatan deh ada si 'pensil' lipstick ini di dalamnya. Ada tutup atas dan tutup bawah (seperti di spido) dengan warna sesuai dengan warna lipsticknya. Ini memudahkan pemilik saat nyari warna yang diperlukan apabila memiliki si Menow Kissproof ini lebih dari satu warna, cukup lihat warna tutupnya saja.

Lipstick ini bentuknya seperti pensil, tapi batangnya bukan grafit tapi lipstick (ya iyalah, hehe). Pas pertama baru buka, paling enak banget deh olesinnya ke bibir. Untuk pemakai lipstick pemula pun, menggunakan lipstick ini juga cukup mudah. Rasanya mirip seperti kita ngegambar pakai crayon itu loh. Gampang banget. Dan warna yang saya pakai, si Kissproof 17 ini juga pigmented. Sekali ulas sudah cukup menutup permukaan bibir.

gimana warnanya? menurut saya sih tjanteeek,


Mengenai warna, saya kira warnanya gak menarik karena tutupnya kan seperti warna agak coklat gitu. Eh tapi pas iseng saya pakai, voila...warnanya nude gitu. Natural, agak oren agak coklat, Warna favorit saya yang 'aman' buat sehari-hari. Bikin bibir lebih seger tanpa terlihat terlalu menor. Kalau saya inget-inget sih mirip pas saya pakai LA Girl Matte - Fleur (salah satu lipcream matte warna favorit saya juga). Begini nih penampakannya saat dipakai,

kok berasa foto buat KTP gini yak,

Untuk ketahanan juga lumayan awet, bisa sampai 4-5 jam kok. Kalau kita makan atau minum juga gak mudah ketransfer (asalkan makannya gak lebay banyaknya sih haha dan pastikan sewaktu mengaplikasikan rata ya tebalnya, jangan ketipisan...kalau ketipisan mah tetep aja gampang kehapusnya).

Nah, untuk kekurangan, mungkin bagi yang kurang suka lipstick matte ya gak bakal suka sih lipstick ini, soalnya dead matte banget lho warna yang dihasilkan. Selain itu, mungkin karena lipstick matte tentunya agak repot ya ngehapusnya, harus pakai make-up remover berbahan dasar minyak, karena gak bisa serta merta dihapus pakai air. Buat yang muslim hati-hati, kalau mau sholat sih menurut saya harus dibersihkan dulu nih lipstick, karena sifatnya waterproof. Biasanya saat bepergian dan harus sholat di perjalanan, saya selalu bawa tissue basah (baby wipes) buat ngebantu hapus lipstick dan make-up di muka (terutama yang waterproof). Lumayan kok bisa ngehapus ketimbang harus ngeluarin kapas dan make-up remover di tengah jalan, hehe.

Selain itu, kelemahan lipstick ini adalah pada saat sesi meraut. Pertama, pastikan kamu punya rautan ukuran diameter pensil gede karena ukurannya gak sama kaya pensil 2B atau pensil alis pada umumnya. Jadi kalau belum punya, pas beli jangan lupa sekalian beli rautan. Kedua, begitu lipstick mulai berkurang dan butuh diraut, maka lakukan proses meraut dengan hati-hati, jangan keburu-buru karena bisa saja lipsticknya patah...sayang kan kalo kebuang #irit. Dan menurut saya sih, hasil rautan gak bisa sebagus dan se-'kenceng' lapisan awal pertama bawaan pabrik (itu tuh maksud saya ketika lipsticknya masih baru). Rasanya jadi lebih gampang patah atau penyok saat dipulasin ke bibir.

ujung lipstick gak sehalus pas pertama buka, hihihi...harus lebih hati-hati deh kalau ngolesin lipsticknya,

oh ya biasanya rautannya model ginian, lubang 2...satu diameter pensil standar, satunya lagi diameter jumbo

Namun secara keseluruhan, saya sih puas pakai Menow Kissproof terutama nomor 17 ini. Soalnya saya cocok warnanya dan puas dengan ketahanan warnanya. Apalagi harganya sangat ramah di kantong. Biasanya kisaran harganya sih sekitar Rp 20.000, kadang bisa kurang kalau kamu beli skala lusinan (maklum mantan bakul lipstick, hahaha). Dan dengan pengaplikasian yang mudah (seperti crayon), lipstick ini bisa dipakai para pemula dengan mudah.

Oh ya, selain mencoba nomor 17, saya juga pernah mencoba nomor 16 (warna merah muda terang, katanya sih favorit banyak orang tapi saya gak cocok hehehe), nomor 19 (oranye, cerah, saya sesekali masih suka pakai nomor ini, kata suami sih lumayan bikin senyum jadi cerah) sama nomor 06 (merah, hihihi mungkin bisa saya pakai kalau pengen red-lips look, cuma sering kagak pedenya pake warna cabe semacam ini, berasa kurang menyatu di wajah saya yang warm-tone)

Dan terakhir, penilaian saya untuk Menow Kissproof Soft Lipstick 17 Powdery Matte adalah :
( 4 / 5) 

Okay, sekian review dari saya. Apakah kamu sudah pernah mencoba Menow Kissproof Soft Lipstick juga?

Salam dari saya dan keluarga kecil saya nih, bye...!



 
catatan Miss Putri Blogger Template by Ipietoon Blogger Template