Kemarin saat melihat koleksi rak di rumah mertua, saya melihat sebuah buku tulisan pak Sudharmono, wakil presiden masa Orde Baru (iyaaa, jaman pak Soeharto). Isinya sih tentang perjalanan karirnya, dilengkapi dengan foto-foto. Tebel gitu bukunya. Namun gara-gara melihat buku itu, saya jadi teringat, saya juga punya buku beliau yang lain. Judulnya Masa Kecilku. Buku ini menceritakan pengalaman masa kecil beliau. Saya mendapat buku ini dari pakdhe saya (suami kakak pertama ibu yang dulu sebelum pensiun adalah Kepala Sekolah Dasar di kampung halaman ibu saya). Saya mendapat buku ini sekitar kelas 4 SD. Dan saya suka sekali membaca buku ini kala itu. Cerita yang ditulis pak Sudharmono amat membekas di hati saya yang masih anak-anak...
Ketika saya sudah sampai ke rumah orang tua saya, akhirnya saya bergegas mencarinya di lemari koleksi buku saya, dan senang sekali mendapati bukunya masih ada di situ. Langsung saya ambil dan baca kembali selama 3 hari terakhir ini. Berikut saya tulis resensi dan opini saya terkait buku tersebut,
DATA BUKU
Judul : MASA KECILKU
Buku ini menceritakan kisah pak Sudharmono semasa kecil sampai remaja. Dan setelah membaca ulang saya baru ingat lagi, ternyata orang tua beliau ini orang Bojonegoro (bapak beliau orang Kanor, ibunya orang Balen, kedua daerah ini adalah salah satu kecamatan di Bojonegoro). Dan setelah kedua orang tuanya meninggal (beliau yatim piatu di usia 3 tahun), beliau tinggal selama 4 tahun bersama pamannya (adik ayahnya) di kecamatan Kabuh, Jombang. Walaaah ini mah kota tempat tinggal budhe dan nenek saya (dari kedua orang tua). Ternyata kota masa lalu beliau mirip juga ya sama kota-kota yang dekat dengan saya.
Beliau lahir di kota Cerme, Gresik. Ayahnya, Soepijo Wirodiredjo adalah carik desa Kebalan, kecamatan Kanor, Bojonegoro. Sedangkan ibunya, Raden Ngaten Sukarsi adalah putri asisten wedana (camat) kecamatan Balen, Bojonegoro. Ibu beliau wafat kala beliau (Mono kecil) berusia 2 tahun dan ayah beliau wafat setahun kemudian.
Di usia balita, 3 tahun, beliau harus menjadi anak yatim piatu. Hal ini mengharuskan dia dan sang kakak, mbak Siti harus hidup menumpang di rumah kerabat (sebenarnya Mono masih memiliki kakak lagi, yaitu mas Sunar, namun kala itu mas Sunar diikutkan kepada mas Mukandar - kakak Mono yang seibu tapi beda ayah).
Terkadang muncul pula kesedihan atau konflik dengan kerabat saat hidup menumpang tersebut. Misalnya hal ini diceritakan kala Mono kecil dan mbak Siti menumpang hidup di rumah paman (adik ayahnya). Ada keadaan di mana bibi mudah emosi dan mudah marah, misalnya pada cerita di saat Mono kecil dimarahi dan dipukul bibinya karena ketiduran menjaga meja makan dan ikan di meja dicuri kucing.
Walau terdapat pula banyak kenangan manis seperti naik kereta dengan paklik Juwarin dari Kabuh - Jombang dan membeli onde-onde di kecamatan Ploso, atau saat paklik Juwarin dengan sayang mengobati Mono kecil yang jatuh dari pintu kereta. Namun beberapa kejadian pahit akhirnya membuat mbak Siti nekat mengajak Mono kabur dari rumah sang paman, paklik Juwarin setelah hampir 4 tahun tinggal bersama. Sehingga akhirnya terjadi komunikasi keluarga besar untuk memindahkan pengasuhan Mono dan mbak Siti ke keluarga pihak ibu. Pindah dari Jawa Timur menuju Jawa Tengah.
Ketika beliau berusia sekitar 6 tahun, selanjutnya Mono dan mbak Siti tinggal dengan keluarga dari pihak ibu di kota Rembang, yaitu mbah Siten (nenek dari almarhumah Ibu) setelah sempat tinggal dengan salah satu kakek dari pihak ayah di kecamatan Wringin Anom, Gresik (ilustrasi cover adalah semasa beliau tinggal di Wringin Anom dan menggembalakan kambing milik kakek) Selama hidup menetap di Rembang ini dikisahkan banyak sekali cerita manis mengenai masa kecil beliau seperti kewajiban Mono menjaga kambing, menjadi 'tongkat' untuk membantu Mbah Siten bepergian, bermain tenis menggunakan raket dari papan bekas bersama kawan-kawan, belajar membuat minyak kelapa asli, dan lain-lain.
Tinggal bersama mbah Siten yang baik hati selama 6 tahun dan hampir tamat HIS (dulu setingkat SD) namun kemudian Mono, mbak Siti dan mbah Siten harus pindah lagi ke Semarang (ke rumah anak tertua mbah Siten, pakde Sosro) karena pada masa itu Perang Dunia II bergulir dan turut mempengaruhi suhu politik di Indonesia, sehingga diperlukan mencari tempat tinggal yang lebih aman. Diceritakan pula bagaimana repot dan mencekamnya saat-saat Begitu pula ketika terjadi perubahan politik saat pemidahan kekuasaan Belanda ke Jepang, maka juga mengubah kehidupan sehari-hari Mono karena terjadi sekolah sempat terhenti, berganti nama serta adanya penambahan kurikulum bahasa Jepang. --- Membaca kisah ini, saya jadi membayangkan betapa susahnya hidup di masa-masa pergolakan seperti itu--- Pada jaman Mono kecil, kehidupan relatif stabil saat penjajahan Belanda (apalagi di masa itu keluarga besar Mono rata-rata orang pamong praja atau pejabat di kantor-kantor pemerintahan sehingga kehidupan ekonomi relatif lebih 'aman' meskipun Mono yatim piatu dan bergantung kepada pemberian keluarga). Namun perubahan yang nampak seram nampak diceritakan sewaktu penyerangan Jepang untuk menguasai Indonesia dan selama masa penjajahan Jepang. Karena nampaknya, walaupun hanya menjajah selama kurang lebih 3,5 tahun namun pemerintah Jepang memang lebih 'galak' ketimbang Belanda kala itu.
Kisah Mono kecil di buku ini diakhiri ketika pada masa Proklamasi di mana Indonesia merdeka dan mulai dibentuk TKR (Tentara Keamanan Rakyat - cikal bakal TNI) di mana Mono yang pada masa itu lulus SMP memilih untuk bergabung di dalamnya. Meninggalkan keluarganya -mbah Siten, mbak Siti (yang sudah menikah dengan kerabat dan tinggal di Pati), pakde Sosro serta keluarga lain...serta meninggalkan masa kecilnya karena saat itu Mono sudah mulai dewasa dan harus menentukan arah kehidupannya sendiri, yang beliau putuskan adalah untuk mengabdi kepada negara.
"Sejak saat itu saya menetukan dan menempuh arah hidup saya sendiri, memasuki lingkungan pergaulan dalam masyarakat, digembleng dalam perjuangan melawan penjajah dalam perang kemerdekaan, memanfaatkan kesempatan yang luas yang diberikan oleh negara dan TNI AD untuk mengikuti pendidikan umum dan kemiliteran dan turut berkiprah dalam mengabdi kepada negara di bidang pemerintahan sampai mencapai posisi yang cukup terhormat. Itu semua berkat alam kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, di samping berkat doa restu para pinisepuh semuanya." (hal 122)
Buku ini, sekali lagi, menurut saya walaupun tidak terlalu tebal namun memberikan banyak nasihat dan cerita berkesan pada saya semasa kecil. Bahwa menjadi anak yatim piatu sesungguhnya tidak menjadikan seseorang harus berkecil hati. Bahwa di dalam kesulitan seseorang harus tetap bekerja keras untuk memperbaiki hidupnya dan berbakti pada orang tua (atau di dalam cerita ini adalah 'pengganti' orang tua, seperti kakak, nenek, paman, pakde, dll). Di buku ini saya (semasa kecil) serasa berimajinasi seperti apa sih era kehidupan di pedesaaan asal ibu dan ayah saya (yang kebetulan ada di Kabuh dan Pati) pada masa 1920-an itu... Saya membayangkan tentunya belum ada kepadatan penduduk, lalu lintas macet, suasana kapitalis seperti sekarang ini ya? Walaupun tentunya keadaan juga tidak merdeka karena masih dijajah Belanda, dan di sini juga diceritakan tidak mudah seorang anak kecil untuk dapat bersekolah. Hanya orang-orang berada, terpandang dan masih dalam keluarga pamong praja (seperti contoh beliau yang almarhum ayah dan kakeknya adalah juru tulis) sehingga masih dapat menikmati sekolah. Dan itu yang harus dipegang anak muda masa sekarang, yaitu mensyukuri kenikmatan berupa mudahnya bersekolah sehingga harus rajin belajar (dan di buku ini dicontohkan bagaimana Mono kecil tetap rajin belajar walaupun kewajibannya mengurus rumah cukup banyak, harus menggembala ternak, harus membantu pakde atau nenek), namun di sekolah dia berprestasi sehingga sempat hampir mendapat verklaring (di masa sekolah Belanda, sedikit siswa yang akan mendapat verklaring yang dapat melanjutkan ke sekolah jenjang lebih tinggi tanpa ujian masuk). Prestasi beliau semasa remaja juga cukup cemerlang. Semasa SMP beliau juga menjadi ketua umum sekolah (kalau jaman sekarang ketua OSIS). Pada masa penjajahan Jepang beliau juga sempat ikut Seinendai (latihan dasar kemiliteran) dan terpilih menjadi pasukan istimewa (tokubetsu syotai) dan dikirim ke Jakarta untuk perlombaan. Semasa remaja beliau juga diceritakan sangat kuat dan pemberani, misalnya diceritakan pada buku ketika masih kelas 1 SMP beliau menemani kakak sepupunya dengan mengendarai sepeda rute Juana - Semarang sepanjang hampir 200 km lebih dan harus melewati perbatasan yang dijaga prajurit Jepan yang galak. Beliau juga beberapa kali mengendarai sepeda dengan rute Semarang - Pati apabila ingin berkunjung ke rumah sang kakak tersayang, mbak Siti yang saat itu sudah menikah dan tinggal di Pati.
Inti dari sang penulis, bapak Sudharmono menulis buku ini adalah agar generasi muda bersemangat dalam menjalani pendidikan dan memiliki cita-cita yang mulia untuk bangsa dan negaranya, meskipun berasal dari orang biasa-biasa atau dalam kondisi kesulitan sekalipun.
"Bahwa siapapun yang dengan sungguh-sungguh memberikan pengabdian dan berprestasi demi kepentingan bangsa dan negaranya pasti dapat memperoleh penghargaan dan kepercayaan dari negara." (kata pengantar)
Setiap generasi muda akan memperoleh hambatan dan tantangan dalam mencapai masa depan. Di masa bapak Sudharmono, mungkin hambatan terbesarnya adalah belenggu penjajah dan keterbatasan fasilitas. Sedangkan di masa ini, tentu hambatan yang kita hadapi adalah berbeda, yaitu misalnya pemanfaatan teknologi dan era digital yang memiliki 2 mata pisau, satu sisi berguna di satu sisi juga berbahaya. Misalnya saja dunia internet yang sering melenakan para pemuda, bukannya malah menggunakannya untuk menambah pengetahuan.
Sekian resensi dari saya. Semoga menambah wawasan untuk yang berkenan mampir. Jangan lupa rajin baca buku yaaa!
Ketika saya sudah sampai ke rumah orang tua saya, akhirnya saya bergegas mencarinya di lemari koleksi buku saya, dan senang sekali mendapati bukunya masih ada di situ. Langsung saya ambil dan baca kembali selama 3 hari terakhir ini. Berikut saya tulis resensi dan opini saya terkait buku tersebut,
DATA BUKU
Judul : MASA KECILKU
Penulis : Sudharmono, S.H.
Penerbit : Yayasan Kasa Luhur Sejati, Jakarta
Tebal : 123 hal
Cetakan
pertama Desember 1993
Cetakan
kedua Februari 1994
RESENSI & REVIEW
Buku ini menceritakan kisah pak Sudharmono semasa kecil sampai remaja. Dan setelah membaca ulang saya baru ingat lagi, ternyata orang tua beliau ini orang Bojonegoro (bapak beliau orang Kanor, ibunya orang Balen, kedua daerah ini adalah salah satu kecamatan di Bojonegoro). Dan setelah kedua orang tuanya meninggal (beliau yatim piatu di usia 3 tahun), beliau tinggal selama 4 tahun bersama pamannya (adik ayahnya) di kecamatan Kabuh, Jombang. Walaaah ini mah kota tempat tinggal budhe dan nenek saya (dari kedua orang tua). Ternyata kota masa lalu beliau mirip juga ya sama kota-kota yang dekat dengan saya.
buku ini terdiri dari 5 bab
Beliau lahir di kota Cerme, Gresik. Ayahnya, Soepijo Wirodiredjo adalah carik desa Kebalan, kecamatan Kanor, Bojonegoro. Sedangkan ibunya, Raden Ngaten Sukarsi adalah putri asisten wedana (camat) kecamatan Balen, Bojonegoro. Ibu beliau wafat kala beliau (Mono kecil) berusia 2 tahun dan ayah beliau wafat setahun kemudian.
hanya sedikit kenangan beliau bersama ibu tercinta
NB : ini saya yang ngewarnain sendiri (hehe jaman masih kecil dulu loh ya)
Di usia balita, 3 tahun, beliau harus menjadi anak yatim piatu. Hal ini mengharuskan dia dan sang kakak, mbak Siti harus hidup menumpang di rumah kerabat (sebenarnya Mono masih memiliki kakak lagi, yaitu mas Sunar, namun kala itu mas Sunar diikutkan kepada mas Mukandar - kakak Mono yang seibu tapi beda ayah).
membantu kakek menjaga warung dan kedapatan mengambil permen tanpa izin
Terkadang muncul pula kesedihan atau konflik dengan kerabat saat hidup menumpang tersebut. Misalnya hal ini diceritakan kala Mono kecil dan mbak Siti menumpang hidup di rumah paman (adik ayahnya). Ada keadaan di mana bibi mudah emosi dan mudah marah, misalnya pada cerita di saat Mono kecil dimarahi dan dipukul bibinya karena ketiduran menjaga meja makan dan ikan di meja dicuri kucing.
Walau terdapat pula banyak kenangan manis seperti naik kereta dengan paklik Juwarin dari Kabuh - Jombang dan membeli onde-onde di kecamatan Ploso, atau saat paklik Juwarin dengan sayang mengobati Mono kecil yang jatuh dari pintu kereta. Namun beberapa kejadian pahit akhirnya membuat mbak Siti nekat mengajak Mono kabur dari rumah sang paman, paklik Juwarin setelah hampir 4 tahun tinggal bersama. Sehingga akhirnya terjadi komunikasi keluarga besar untuk memindahkan pengasuhan Mono dan mbak Siti ke keluarga pihak ibu. Pindah dari Jawa Timur menuju Jawa Tengah.
Ketika beliau berusia sekitar 6 tahun, selanjutnya Mono dan mbak Siti tinggal dengan keluarga dari pihak ibu di kota Rembang, yaitu mbah Siten (nenek dari almarhumah Ibu) setelah sempat tinggal dengan salah satu kakek dari pihak ayah di kecamatan Wringin Anom, Gresik (ilustrasi cover adalah semasa beliau tinggal di Wringin Anom dan menggembalakan kambing milik kakek) Selama hidup menetap di Rembang ini dikisahkan banyak sekali cerita manis mengenai masa kecil beliau seperti kewajiban Mono menjaga kambing, menjadi 'tongkat' untuk membantu Mbah Siten bepergian, bermain tenis menggunakan raket dari papan bekas bersama kawan-kawan, belajar membuat minyak kelapa asli, dan lain-lain.
menjadi tongkat untuk mbah Siten
bermain tenis dengan raket buatan sendiri dan bola tenis bekas
Tinggal bersama mbah Siten yang baik hati selama 6 tahun dan hampir tamat HIS (dulu setingkat SD) namun kemudian Mono, mbak Siti dan mbah Siten harus pindah lagi ke Semarang (ke rumah anak tertua mbah Siten, pakde Sosro) karena pada masa itu Perang Dunia II bergulir dan turut mempengaruhi suhu politik di Indonesia, sehingga diperlukan mencari tempat tinggal yang lebih aman. Diceritakan pula bagaimana repot dan mencekamnya saat-saat Begitu pula ketika terjadi perubahan politik saat pemidahan kekuasaan Belanda ke Jepang, maka juga mengubah kehidupan sehari-hari Mono karena terjadi sekolah sempat terhenti, berganti nama serta adanya penambahan kurikulum bahasa Jepang. --- Membaca kisah ini, saya jadi membayangkan betapa susahnya hidup di masa-masa pergolakan seperti itu--- Pada jaman Mono kecil, kehidupan relatif stabil saat penjajahan Belanda (apalagi di masa itu keluarga besar Mono rata-rata orang pamong praja atau pejabat di kantor-kantor pemerintahan sehingga kehidupan ekonomi relatif lebih 'aman' meskipun Mono yatim piatu dan bergantung kepada pemberian keluarga). Namun perubahan yang nampak seram nampak diceritakan sewaktu penyerangan Jepang untuk menguasai Indonesia dan selama masa penjajahan Jepang. Karena nampaknya, walaupun hanya menjajah selama kurang lebih 3,5 tahun namun pemerintah Jepang memang lebih 'galak' ketimbang Belanda kala itu.
menurut beliau tentara Jepang penampilannya seram dan galak
Kisah Mono kecil di buku ini diakhiri ketika pada masa Proklamasi di mana Indonesia merdeka dan mulai dibentuk TKR (Tentara Keamanan Rakyat - cikal bakal TNI) di mana Mono yang pada masa itu lulus SMP memilih untuk bergabung di dalamnya. Meninggalkan keluarganya -mbah Siten, mbak Siti (yang sudah menikah dengan kerabat dan tinggal di Pati), pakde Sosro serta keluarga lain...serta meninggalkan masa kecilnya karena saat itu Mono sudah mulai dewasa dan harus menentukan arah kehidupannya sendiri, yang beliau putuskan adalah untuk mengabdi kepada negara.
"Sejak saat itu saya menetukan dan menempuh arah hidup saya sendiri, memasuki lingkungan pergaulan dalam masyarakat, digembleng dalam perjuangan melawan penjajah dalam perang kemerdekaan, memanfaatkan kesempatan yang luas yang diberikan oleh negara dan TNI AD untuk mengikuti pendidikan umum dan kemiliteran dan turut berkiprah dalam mengabdi kepada negara di bidang pemerintahan sampai mencapai posisi yang cukup terhormat. Itu semua berkat alam kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, di samping berkat doa restu para pinisepuh semuanya." (hal 122)
Buku ini, sekali lagi, menurut saya walaupun tidak terlalu tebal namun memberikan banyak nasihat dan cerita berkesan pada saya semasa kecil. Bahwa menjadi anak yatim piatu sesungguhnya tidak menjadikan seseorang harus berkecil hati. Bahwa di dalam kesulitan seseorang harus tetap bekerja keras untuk memperbaiki hidupnya dan berbakti pada orang tua (atau di dalam cerita ini adalah 'pengganti' orang tua, seperti kakak, nenek, paman, pakde, dll). Di buku ini saya (semasa kecil) serasa berimajinasi seperti apa sih era kehidupan di pedesaaan asal ibu dan ayah saya (yang kebetulan ada di Kabuh dan Pati) pada masa 1920-an itu... Saya membayangkan tentunya belum ada kepadatan penduduk, lalu lintas macet, suasana kapitalis seperti sekarang ini ya? Walaupun tentunya keadaan juga tidak merdeka karena masih dijajah Belanda, dan di sini juga diceritakan tidak mudah seorang anak kecil untuk dapat bersekolah. Hanya orang-orang berada, terpandang dan masih dalam keluarga pamong praja (seperti contoh beliau yang almarhum ayah dan kakeknya adalah juru tulis) sehingga masih dapat menikmati sekolah. Dan itu yang harus dipegang anak muda masa sekarang, yaitu mensyukuri kenikmatan berupa mudahnya bersekolah sehingga harus rajin belajar (dan di buku ini dicontohkan bagaimana Mono kecil tetap rajin belajar walaupun kewajibannya mengurus rumah cukup banyak, harus menggembala ternak, harus membantu pakde atau nenek), namun di sekolah dia berprestasi sehingga sempat hampir mendapat verklaring (di masa sekolah Belanda, sedikit siswa yang akan mendapat verklaring yang dapat melanjutkan ke sekolah jenjang lebih tinggi tanpa ujian masuk). Prestasi beliau semasa remaja juga cukup cemerlang. Semasa SMP beliau juga menjadi ketua umum sekolah (kalau jaman sekarang ketua OSIS). Pada masa penjajahan Jepang beliau juga sempat ikut Seinendai (latihan dasar kemiliteran) dan terpilih menjadi pasukan istimewa (tokubetsu syotai) dan dikirim ke Jakarta untuk perlombaan. Semasa remaja beliau juga diceritakan sangat kuat dan pemberani, misalnya diceritakan pada buku ketika masih kelas 1 SMP beliau menemani kakak sepupunya dengan mengendarai sepeda rute Juana - Semarang sepanjang hampir 200 km lebih dan harus melewati perbatasan yang dijaga prajurit Jepan yang galak. Beliau juga beberapa kali mengendarai sepeda dengan rute Semarang - Pati apabila ingin berkunjung ke rumah sang kakak tersayang, mbak Siti yang saat itu sudah menikah dan tinggal di Pati.
Inti dari sang penulis, bapak Sudharmono menulis buku ini adalah agar generasi muda bersemangat dalam menjalani pendidikan dan memiliki cita-cita yang mulia untuk bangsa dan negaranya, meskipun berasal dari orang biasa-biasa atau dalam kondisi kesulitan sekalipun.
"Bahwa siapapun yang dengan sungguh-sungguh memberikan pengabdian dan berprestasi demi kepentingan bangsa dan negaranya pasti dapat memperoleh penghargaan dan kepercayaan dari negara." (kata pengantar)
Setiap generasi muda akan memperoleh hambatan dan tantangan dalam mencapai masa depan. Di masa bapak Sudharmono, mungkin hambatan terbesarnya adalah belenggu penjajah dan keterbatasan fasilitas. Sedangkan di masa ini, tentu hambatan yang kita hadapi adalah berbeda, yaitu misalnya pemanfaatan teknologi dan era digital yang memiliki 2 mata pisau, satu sisi berguna di satu sisi juga berbahaya. Misalnya saja dunia internet yang sering melenakan para pemuda, bukannya malah menggunakannya untuk menambah pengetahuan.
Sekian resensi dari saya. Semoga menambah wawasan untuk yang berkenan mampir. Jangan lupa rajin baca buku yaaa!
0 komentar:
Post a Comment
thanks for stopping by