Judul : Ketika Cinta Tak Mau Pergi
Penulis : Nadhira Khalid
Penerbit : PT. Lingkar Pena Kreativa
Cetakan Kedua, Januari 2008
Tebal : 312 halaman
ISBN 979-3651-97-2
Didistribusikan oleh Mizan Media Utama - Bandung
Blurb
Gelar kebangsawanan tak serta merta membuat pemuda itu mendapatkan gadis pujaan hatinya. Kemiskinan, fitnal yang bertebaran, penolakan keluarga bahkan masyarakat sekitar, serta intrik sosial, mengantarkannya pada pilihat sulut antara gadis yang dicintainya dan kehormatan keluarga. Hidup menjadi sedemikian rumit ketika ia memutuskan untuk melupakan mimpi dan cintanya.
***Sinopsis & Review***
Ekspektasi yang salah. Begitu kesan saya pertama setelah membaca buku ini. Soalnya melihat judul dan cover buku, saya mengira kisah percintaan ala novel akan lebih dominan daripada kisah tentang budaya lokal yang ditampakkan dari gambaran gadis di cover buku dengan pakaian khas adat tersebut. Bahkan awalnya saya gak menyangka lho buku ini ternyata mengisahkan tentang sepotong kehidupan suku Sasak di Lombok. Ya, mungkin saya kurang gaul untuk urusan budaya, sehingga saya hanya lebih mengetahui tentang beberapa adat suka Jawa saja. Tentu hadirnya buku ini membuat pengetahuan saya bertambah mengenai suku di luar pulau Jawa.
Mengisahkan kisah cinta yang menyedihkan (aduh sebenarnya saya tidak suka cerita sedih) antara Lalu Kertiaji dan Sahnim yang merupakan anak suku Sasak namun dari desa dan trahyang berbeda. Lalu Kertiaji dari desa Presak Bat sedangkan Sahnim dari desa Presak Timur yang sedang bertikai. Di mana pertikaian desa tersebut terjadi akibat kepentingan penguasa dan uang demi memuluskan proyek pembangunan pabrik batu apung di Lombok yang melibatkan cara-cara kotor pejabat pemerintah dan anggota DPR (hal yang nampaknya sering terjadi di kehidupan nyata negara ini). Kedua insan tersebut menjadi mustahil bersatu akibat ketidaksetujuan masyarakat. Ditambah lagi prinsip ayah Sahnim yang membenci adanya perkastaan di suku mereka. Ya, ayah Sahnim berasal dari kasta biasa, namun berhasil menaikkan harga diri di masyarakat dengan kekayaan yang menonjol di desa, amat membenci kasta bangsawan yang telah menimbulkan luka di hatinya sejak kecil. Apalagi orang dari kasta bangsawan namun ternyata miskin, seperti keluarga Lalu Kertiaji. 'Lalu', yang merupakan gelar bangsawan bagi ayah Sahnim adalah sesuatu yang tak berharga selain nama.
Berbagai masalah yang terjadi akibat pertikaian desa membuat sebagian masyarakat mengikuti program Transmigrasi pemerintah ke Sumbawa, termasuk keluarga Lalu Kertiaji. Bersama ayah, ibu dan adik-adiknya mereka hijrah untuk nasib yang lebih baik serta mencari ketenangan setelah berbagai masalah terjadi di desa.
Namun ternyata hati Lalu Kertiaji tidak sepenuhnya 'berpindah'. Kegagalannya mendapatkan Sahnim masih membekas di hatinya. Sampai didapatnya kabar Sahnim mau menikah dengan pria lain, Japa akibat diguna-guna. Dan sampai kemudian Lalu Kertiaji sendiri memutuskan menikahi wanita lain, Petimah, yang ternyata hanya bertahan sekitar satu tahun karena Petimah dibunuh perampok yang memasuki rumah mereka. Dan perampok itu tak lain adalah Japa, yang juga anak Wajedi (anggota DPR yang terlibat dalam pembuat fitnah perusak hubungan desa Presak Bat dan Presak Timur demi amplop suap pengusaha).
Ya, Lalu Kertiaji dan Sahnim memang bernasib tragis. Saya memang paling sedih membayangkan seorang wanita harus menikah dengan pria yang tidak dicintainya, apalagi jika pria tersebut tidak beriman dan jahat. Aduuuh...
Namun isi novel ini tidak melulu tentang percintaan. Membaca novel ini memberi saya pengetahuan baru. Bahasa atau istilah dalam suku Sasak, seperti tiyang yang berarti saya, amaq untuk sebutan ayah, side untuk sebutan kamu, serta mosot untuk menjuluki bujang yang tak laku (dan yang bikin saya shocked adalah batasan usia disebut mosot ini, karena di sana pria diharapkan menikah sebelum usia 20 dan wanita sebelum umur 15, wedew...). Karena itulah ada tradisi midang, yaitu para pria yang menyukai wanita dapat mengunjungi wanita tersebut di rumahnya pada hari yang ditentukan orang tua si wanita. Pria-pria diberi kesempatan berbicara, memberi hadiah atau mengambil hati sang wanita secara bergantian. Kemudian orang tua si wanita akan berdiri di balik tirai ruang tamu, selanjutnya akan diam-diam 'menyeleksi' manakah calon menantu terbaiknya. Selain itu di samping memegang kental adat desa, penduduk desa ternyata juga memegang agama dengan kuat (Islam) sehingga bagi mereka tabu untuk berduaan antara lawan jenis. Adanya kewajiban untuk membawa pihak ketiga saat seorang pria atau wanita bertemu orang yang mereka sukai, ini menjadi salah satu tradisi baik yang menurut saya cocok dengan budaya Indonesia yang dikenal memegang teguh norma agama dan etika.
Di novel ini juga kita dapat merasakan geliat kegiatan transmigrasi yang gencar digalakkan pemerintah di era 70-80'an. Bagaimana program transmigrasi mampu memberi harapan para keluarga miskin yang mau bekerja keras, karena ternyata butuh kemauan tinggi untuk membongkar hutan menjadi areal pertanian. Serta masalah kesehatan yang menimpa masyarakat awam yang tak mampu atau sulit bertemu dokter di kala wabah malaria muncul. Hal ini tentu mengingatkan kita bahwa kemapanan, pendidikan dan kesehatan masih menjadi hal mewah bagi sebagian masyarakat di pelosok Indonesia.
Mungkin satu hal lagi yang membuat saya miris mengingat tentang adat adalah begitu mudahnya para lelaki di suku ini untuk berperang atau saling menyerang. Ya, banyak sekali terjadi pertempuran darah di novel ini akibat fitnah atau wanita. Mungkin ini ya kelemahan bangsa kita sejak dulu, mudah diadu domba untuk berkelahi.
Akhir kata, sebagai penambah wawasan budaya suku Sasak, novel ini cukup memperkaya wawasan kita. Namun dari segi kisah percintaan yang menjadi latar cerita bagi saya cukup menjemukan karena terlalu berbelit alurnya. Tapi mungkin berbelit karena memang sesuai judul sih, 'cinta'-nya tak mau pergi-pergi, meski terhalang jarak, terhadang restu dan melampaui waktu. Ck ck ck...