Suami saya menyarankan agar saya menjadi dosen saja. Bagi beliau, profesi pendidik itu salah satu profesi mulia untuk dijalankan seorang perempuan, terhormat gitu. Di samping bisa berbagi ilmu, tentu membuat saya bisa terus belajar. Awalnya saya pengen menolak. Sebagian sisa pikiran kapitalis saya berkata pengen mencari pekerjaan yang money oriented saja, wkwkwkwk....tapi kalau balik lihat anak-anak, kok kepikiran ulang ya. Jadi wanita karir kantoran semacam 6 tahun silam, rasanya berat banget dijalani lagi sekarang. Ngebayangin kalau pulangnya jam malam, terus ntar siapa yang nemenin anak-anak ngaji, belajar, bermain? Akhirnya saya mencoba memikirkan ulang saran suami, dan kemudian mencoba-coba melamar pekerjaan dosen.
Bukan hal yang mudah pula untuk dicoba. Daftar dosen CPNS, eh ternyata gak lolos TKD, hahahaha, soal kepribadian menunjukkan nilai kepribadian saya minimalis. Dan saya gak pengen coba lagi, kalau inget prosesi ngurus dokumen-dokumen itu ribet dan banyaaak macamnya. Ogah wis.
Kemudian nyoba beberapa PTS swasta di Surabaya, belum ada panggilan juga. Sampai kemudian saya jatuh sakit saat hamil trimester kedua (ada di postingan saya sebelumnya), dan seluruh keluarga besar menyarankan supaya saya dan anak-anak pindah dari Surabaya dan kembali tinggal di kampung Tuban. Suami pun akhirnya memutuskan itu hal terbaik, walau dengan konsekuensi saya LDR sama mantan pacar (hiks hiks), ketemu weekend doang dong! Dan sekalian saya pun mencoba apply jadi dosen di kampus kota asal saya, Bojonegoro.
Singkat cerita, mungkin jodoh ngga kemana, kok ya pas kampus tersebut membutuhkan seorang dosen Teknik Industri (ada salah satu dosen baru saja resign). Jadi setelah tes interview, saya pun diterima bekerja di semester ganjil 2019. Itu juga pas banget saya uda selesai selapan bayi Asha, hehehe.
Awal pertama ngajar? jangan salah saya pun sempat grogi. Tapi kepalang basah ya uda jadi dosen, jadi ya dijalani. Lama-lama akhirnya sudah terbiasa, hihihi. Ngajar anak-anak usia remaja yang kritis, kadang bandel, tentu ada seninya juga.
Namun walaupun begitu, saya bersyukur sekali berkesempatan menjadi seorang dosen. Saya jadi paham, aih mendidik anak itu susah ya! Sungkem saya untuk semua pendidik di Indonesia dan dunia. Namun seiring waktu, saya juga sadar ilmu saya ini masih cetek sekali. Nambah kuliah S2 itu bukan apa-apa, ternyata masih banyak ilmu yang harus digali. Bener banget pepatah ini :
Terus kemarin mendadak saya dikabari bapak Dekan saya yang baik banget. Ternyata NIDN saya udah keluar, haha, saya mendadak girang juga lho! Saya resmi jadi dosen, uda terdaftar, wkwkwkwk. Alhamdulillah...
Bukan lho, saya gak bermaksud pamer. Sama sekali nggak. Wong saya masih dosen 'baru', jabatan fungsional juga belum punya. Namun saya begitu amazing, seiring berjalannya waktu ternyata kita kadang tidak bisa memprediksi akan menjadi apa diri ini. Dulu saya gak nyangka sekali akan menyandang profesi ini, tapi mengetahui sedikit demi sedikit akhirnya jatuh cinta juga, haha... Eh, ini semua berkat pak Suami juga sih, yang uda maksa saya kuliah lagi, maksa daftar dosen pula. Ck ck ck, love u Darl!
0 komentar:
Post a Comment
thanks for stopping by