Menurut saya, bepergian dengan keluarga kecil saya amatlah
menyenangkan. Rame. Berasa lengkap gitu. Mungkin itulah kenapa menikah itu
dianjurkan agama, karena memang menenteramkan hati. Ketika bersama dengan
pasangan dan anak, ada perasaan damai di sana. Abaikan background ketika anak-anak berantakin
rumah aja sih.
(Disclaimer : Ssaya bilang begitu bukan karena saya pamer udah punya
keluarga. Buka pula bermaksud menyindir yang belum keluarga
kok. Bukan sama sekali… Ini hanyalah tulisan pendapat saya saja.
Back to the topic.
Bepergian berempat yang paling sering kami lakukan adalah
saat mudik dari Surabaya ke Bojonegoro atau Tuban naik mobil (haha, halah jarak
segitu doang mah bukan mudik yang gimana gitu yaaa, secara tiga jam udah
sampe). Nah yang kemarin ini saya melakukan perjalanan jauh yang lain dari
biasanya karena kami ada keperluan ke Jakarta, jadi lumayan panjang
perjalanannya. Transportasi yang kami pilih adalah kereta api, dengan alasan
keamanan dan kenyamanan yang baik. Ya walaupun gak murah-murah banget sih (buat
kami loh ya), tetapi dibandingkan beli empat tiket pesawat ya masih lebih
terjangkau naik kereta api, cukup pesan tiga bangku karena Ka masih di bawah tiga tahun jadi hanya pesan tiket infant tapi tidak berbayar (walaupun artinya harus mangku si Ka). Alhamdulillah… masih ada sisa ongkos buat jajan.
Oh ya, tiket kami pesan online di www.tiket.kereta-api.com Websitenya mudah kok untuk digunakan saat kita ingin membeli tiket online. Sekalian mengisi data penumpang, memilih kursi yang diinginkan (penting banget ini buat yang pergi rombongan kalau ingin duduk berdekatan). Dan kemarin saat ada KAI Fair tanggal 29-30 Juli 2017 sebenarnya di website ini pun memberikan sekian kursi yang harganya didiskon cukup besar, yaitu dari harga Rp 375.000 menjadi Rp 150.000 saja #mupeng. Tapi karena saya tahu terlambat, kyaaa, udah habis deh kursi yang didiskon. Mungkin belum beruntung ya.
Kereta yang kami pilih adalah Sembrani, karena jam
keberangkatannya yang memungkinkan untuk mas Suami yang baru keluar kantor jam
16.30. Sedangkan kereta Sembrani berangkat jam 17.40, jarak yang cukupan untuk
perjalanan dari kantor ayah menuju stasiun Pasar Turi.
Saya sendiri sudah cukup lama enggak naik kereta api
(terutama yang eksekutif), terakhir sih sekitar tiga tahun lalu jaman setelah
resign dari kantor di Cikarang. Yang saya ingat sih, naik kereta eksekutif itu
yaa… ADEM! Hahaha, norak ya? Buat saya suhu AC yang nyaman di badan itu ya
kisaran 25'-26' C saja, nah sedangkan suhu di dalam kereta yang berkisar antara 23'-24' C ya
lumayan bikin saya ngumpet di balik selimut, hehehe.
Dengan alasan itulah Na
dan Ka saya pakaikan kostum atasan dan bawahan panjang. Selain supaya mereka
gak merasa kedinginan, saya menduga akan susah memakaikan selimut ke kedua
bocah ini, soalnya kebiasaan banget mereka nendangin selimut tiap tidur (hehe,
sebenarnya kelakuan saya jaman kecil juga gitu, bahkan sewaktu opname di RS pun gak
mau pakai selimut – kalau kata Mami saya sih, semua anak kecil emang gak suka
pakai selimut, berasa gerah dan gak bebas nampaknya). Walau kemudian rencana saya ini agak gagal ketika
ternyata si Ka sebelum berangkat malah mainan air genangan di depan rumah
sehingga ‘kostum’ yang saya pilihkan berantakan dan kotor kena air genangan yang bercampur
tanah, huks… Dan karena keterbatasan stok baju di rumah Surabaya maka saya hanya
bisa menemukan kostum baru berupa kaos lengan pendek (tapi saya pilihkan baju
yang agak kebesaran dikit biar nutup badannya lumayan) dan celana sedikit di
bawah lutut *sigh…
Kemudian (setelah mengganti baju Ka) saya dan anak-anak meluncur menuju kantor ayah
(sekalian nitip mobil di sana, hehehe) lalu berempat naik taksi menuju stasiun Pasar
Turi.
Di stasiun Pasar Turi kami bergegas check-in di mesin
pencetak tiket mandiri. Hahaha, ini juga saya hampir lupa kalau sekarang sebelum naik
kereta boarding pass-nya sudah lebih mudah, cukup ketik kode booking
saja di mesin pencetak tiket mandiri. Selanjutnya tiket udah terpegang di tangan. Bayangan saya masih kayak jaman tiga
tahun lalu saja yang harus antri di loket buat cetak tiket online. Untuk
sekarang sih hanya keberangkatan tiket jarak pendek (commuter, KRL, KRD, kereta
lokal) saja yang mencetak tiket di loket pembayaran. Maapkeun saya yang norak
ini...
hehehe, gapapa ya foto-foto di stasiun, emang sering lewat tapi jarang masuk
Kemudian kami masuk di ruang tunggu kereta eksekutif (saya juga baru tahu desain ruang tunggu yang baru di stasiun Pasar Turi ini)
lebih bagus dan nyaman untuk menunggu. Anak-anak juga betah di dalamnya. Oh ya,
jangan lupa juga menyiapkan tanda pengenal (KTP dan sejenisnya) saat masuk ke
ruang tunggu dan saat akan keluar dari ruang tunggu ketika menuju ke
kereta yang dituju ya (check-in).
asyik di ruang tunggu
Setelah kereta datang, maka kami pun masuk ke dalam kereta
dan mencari kursi kami.
Ternyata Na dan Ka suka dengan kereta api. Sebelumnya sih
memang pernah naik kereta, tapi yang lokal (Surabaya – Bojonegoro) dan
itupun hanya bertiga sama saja. Kali ini kan berempat, dan saya penasaran
apakah mereka akan anteng seperti kemarin naik kereta bertiga?
Ternyata…
belum mau duduk anteng di kereta
malah minta foto pose aneh-aneh
Sebab-musababnya karena sejak Ka umur 1,5 dan dia sama sekali gak mau dipakein popok, saya udah nggak nyetok popok lagi karena berakhir sudah masa pencarian saya akan diskonan atau promo popok di supermarket). Kemudain akhirnya saya menemukan toilet di ujung lain gerbong yang klosetnya duduk dan warnanya putih baru akhirnya dia mau pipis. Sempat lho saya panik dan kebingungan gara-gara takut kalau Ka ngempet pipis gara-gara gak mau
masuk toilet, lah kalau sampai dia ngompol di kereta gimana???
engga mau duduk tengang di kereta
Dan momen selanjutnya yang bikin ngehe adalah ketika Ka dan
Na bilang, “Bunda, ayok pulang.” Semoga mereka tidak berpikir bahwa naik kereta api tidaklah semudah naik odong-odong yang bisa dihentikan sesuka hati ya...Walaupun ada benarnya mereka bilang ini pulang kereta mulai masuk arah
kota Lamongan, haha, tau aja emang sih arah keretanya ke arah kampung halaman.
Moment lucu lagi adalah ketika si Na yang nampaknya mulai
lapar dan bilang, “Bunda laper, pengen makan mie.”
Saya lalu mikir, waduh sekarang yang jualan di pinggir
kereta yang mampir tiap stasiun udah enggak ada lagi. Jaman dulu kan sering
tuh,saat kereta masuk stasiun transit, terus ada bakul-bakul panganan
berteriak, “Pop mie, kopi, nasi..” Aih, sekarang sudah enggak ada lagi karena
stasiun sudah mulai tertib dan bersih dari pedagang asongan liar. Walaupun
sekarang senang karena enggak kaget sama suara teriakan mereka saat enak-enak
tidur di kereta, namun sedih juga enggak ada lagi penjual makanan atau minuman
hangat dengan harga terjangkau saat perut mulai keroncongan, hiks, maklum emak
irits, dari dulu cari yang murah biarpun ngakunya penumpang kereta eksekutif.
Mana sering gondok kalau makan dari restorasi kereta api. Sama-sama Pop mie, di
kereta Rp 20.000. Lah kalau di pedagang asongan gitu paling mahal Rp 10.000, makanannya kan ya sama plek -si Pop mie- itu kan? Dan khusus edisi emak sayang anak, saya sempat
bertanya ke mbak pramugari kereta api, “Mbak, ada menu mie rebus ngga?” dan
kemudian saya berpikir keras lagi ketika si mbak pramugari menggeleng.
Waduh, Na dan Ka emang kayaknya mulai laper lagi. Tapi
mereka gak mau makan nasi yang dijual mbak pramugari (urusan “makan” ini emang
anak saya terkadang picky dan sering bikin saya rada puyeng sih). Kemudian saya
amatin, perhentian kereta di setiap stasiun rata-rata dua menit. Saya kemudian
minta izin mas Suami buat turun di stasiun berikutnya, kali ada minimarket yang
jual Pop mie gitu semacam Alfa Express. Mas Suami agak ragu sih, haha, jelas
khawatir kalau istrinya ketinggalan pas bayar Pop mie di kasir. Enggak lucu
banget dia ke Jakarta sama dua bocah, wkwkwkwk (saya juga gak bisa
bayangin sih haha). Namun karena kasihan sama Na dan Ka, akhirnya kami sepakat,
saya akan turun dan lari secepatnya ke stasiun berikutnya.
Kemudian kereta memasuki stasiun Bojonegoro. Saya cepat-cepat turun dan
bilang ke petugas yang ada di dekat rel kereta, “Pak, mau beli makanan buat
anak saya bentar,” dan melesat ke Alfa Express di stasiun. Rada khawatir juga
karena harus melalui dua lajur rel alias agak jauh gitu dari tepi stasiun. Dan
sampai di sana langsung minta tolong bantuan mbak kasir untuk bukain bungkus
Pop mie kemasan pertama (saya beli dua) dan tuangin air panas ke dalamnya. Tak
lupa saya minta, “Gak usah dipakein bumbu mbak, ntar aja di dalam kereta.
Airnya juga gak usah banyak-banyak.” Alasannya adalah : 1. Anak saya biasanya
kalau makan Pop mie, Cuma saya kasih bumbu seiprit, biar gak kebiasa makan
terlalu asin. Asal ada aroma bumbu dikit aja mereka juga uda doyan. 2. Anak
saya gak akan nyeruput kuah mie-nya, jadi asal kena air panas sepertiga kemasan
saja sudah cukup bikin mie empuk dan bisa dimakan. 3. Lagipula kalau airnya
penuh kaya SOP di kemasan, saya gak bisa bawa sambil lari dong, ntar tumpah
semua malah berabe… Dan untunglah di mbak kasir (dan supervisornya) pengertian,
langsung cepet-cepet bantu saya pembayaran beserta menghitung kembalian sembari
saya mengisi Pop mie kemasan kedua dan mengambil sebotol air mineral. Karena sungguh,
saya hanya butuh kecepatan saat itu daripada ucapan, “Selamat datang di
Alfamart, ada member?” Untungnya kok pada pengertian.Aih, i love u deh Alfa Express…
Dan setelah mengambil kembalian, mengucap terima kasih serta menenteng dua bungkus Pop mie dan sebotol air mineral, saya bergegas lari ke
kereta dan mencapai gerbong terdekat (pokoknya masuk Sembrani deh, ntar gerbong
tempat duduk saya mah bisa dicari sambil jalan). Ngeliat saya yang terburu-buru jalan,
bapak petugas yang bawa rambu kereta sampai berkata, “Hati-hati bu, engga apa-apa kok bu nanti
ditungguin,” Yah, tetep aja saya takut kalau gak cepet-cepet, lah ntar kalau
kereta udah kadung jalan bagaimana nasib saya
yak? Dalam hati saya membatin, ya biarpun kalaupun saya ketinggalan di stasiun kereta Bojonegoro emang sih nasib saya bakal baek-baek aja secara saya bisa pulang ke rumah Ibu saya, tapi acara saya ke Jakarta
berantakan dong! Alhamdulillah saya bisa mencapai kursi tempat duduk saya tepat
saat kereta melaju… Akhirnya anak-anak anteng dan mulai menghabiskan mie
masing-masing.
Setelah mie habis mereka kembali mondar-mandir dan ada aja polah-nya di kursi.
Sejam. Dua jam.
Dan kedua anak ini engga mau bobok juga. Padahal hari uda mulai malam. Dan batere si emak ini udah mulai habis. Gejalanya sih pengen tidur. Cuma engga tahu
memulainya harus darimana. Sementara si mas Suami malah udah tidur duluan di kursi
seberang. Zzz…zZz..
Kemudian Ka saya pangku. Terus Na duduk sandaran di sebelah
saya. Saya ngoceh-ngoceh dikit, terus bilang, “Bunda ngantuk nak, mau tidur…
Tidur dulu yuk!” Dan entah menit keberapa anak-anak udah pules (entah saya
tidur bersamaan mereka tidur atau entah pula kalau saya udah bablas duluan,
hehe). Yang jelas menjelang tengah malam mas Suami yang kasihan melihat saya
harus mangku Ka dan disenderin Na akhirnya mengambil Ka dan gantian memangkunya.
Terima kasih ya mas Suami sayang, hehe, punggung jadi bisa agak rilek setelah
beberapa jam kaku gak bisa gerak.
Oh ya, saya ada tips di bagian ini. Mencegah anak-anak masuk angin gara-gara hawa dingin itu penting lho. Biasanya saat mereka mau anteng, segera saya oleskan minyak kayu putih ke
kaki, tangan dan daerah sekitar telinga – leher, lalu pakaikan mereka selimut
(atau jaket bila memungkinkan). Untuk bayi di bawah setahun sih mungkin minyak
telon saja cukup. Untuk tambahan juga kalau dulu saya biasanya juga pakaikan kaos kaki bayi… nah
kalau Na dan Ka sekarang merasa uda gede jadi malah males disuruh pakai kaos kaki.
Sepanjang perjalanan, saya juga mengamati pelayanan dan
fasilitas kereta. Nampaknya memang sudah lebih meningkat disbanding dulu. Kursi
lebih nyaman, pakaian pramugari-pramugara juga lebih fresh. Toilet juga sudah
lebih bersih, karena setiap beberapa jam ada cleaning service yang mengecek
kebersihan toilet. Udah engga ada lagi cerita penumpang yang duduk di dekat
pintu yang menghirup aroma pesing dari toilet. Ditambah kemudahan pemesanan
tiket online dan cetak tiket mandiri, memang pelayanan kereta jadi lebih baik dibanding
sebelumnya.
Dan akhirnya menjelang jam empat subuh kami mencapai stasiun
Jatinegara, di mana saya berencana turun karena kakak sepupu saya rumahnya ada
di daerah Kampung Jembatan, lebih dekat dengan stasiun Jatinegara ketimbang
harus turun di perhentian akhir stasiun Gambir. Cek ricek barang, anak-anak
(jangan sampai ada anak ketinggalan). Akhirnya kami pun turun dengan posisi
anak-anak masih tertidur. Mas Suami bilang pengen ke toilet, jadi saya memangku
kedua anak setelah turun dari kereta api. Dan tepat saat kereta api berjalan lagi, si Na terbangun dan nanya, “Boneka
pisang Na mana Bunda?”
Deg.
Dan saya tersadar kalau si boneka pisang Na ketinggalan.
Hiks hiks hiks,
Kasihan banget si Na entah kenapa pas lagi sayang banget sama
boneka pisangnya (sebenernya dulu punya saya sih, terus saya warisin ke Na) lha kok saya kelupaan jagain.
Saya nyesel banget kenapa kok kelupaan kalau semalam saya pakai pisangnya buat
ganjel leher dia supaya nyaman. Mungkin si boneka pisang terjatuh atau tertutup
selimut kereta sehingga saya luput ada benda yang tidak terbawa. Sampai saya
ngetik ini, saya masih merasa sedih loh. Walaupun saya berusaha menekan
perasaan, bahwa semua benda bersifat duniawi itu hanyalah titipan Allah, dan
kita harus mengikhlaskan benda yang hilang (lagipula toh apa artinya dibanding kehilangan
benda bernyawa ketimbang benda mati?)
Dan kemudian saya hanya bisa meminta maaf, “Maafin Bunda ya
nak…Bunda kelupaan... Semoga boneka pisangmu nanti ditemu orang, dan akhrinya sampai ke tangan
anak kecil yang bisa menyayanginya… Nanti kita beli boneka pisan yang lain ya
nak” Dan Na mengangguk pelan entah paham entah tidak dengan ucapan saya.
maafin saya ya pisang...semoga kamu bermanfaat di tangan orang lain...
Kemudian kami pun keluar dari stasiun Jatinegara, menuju
mobil kakak saya yang sudah menjemput sejak sejam lalu.
Hmmm, sebenernya seru sekali pengalaman naik kereta berempat
ini. Bersyukur banget anak-anak enggak ada yang rewel berlebihan atau masuk angin
gara-gara suhu AC, juga saya gak sampai ketinggalan di stasiun sewaktu beli
makanan tadi. Alhamdulillah. Ya, saya akui hanya sedikit kegundahan hati saat
si boneka pisang tertinggal. Sebagai orang yang agak obsessive compulsive agak
susah menerima kenyataan ada benda yang tertinggal (meskipun sepele) semacam itu tadi. Ya Allah,
saya berharap sifat buruk saya ini hilang dan saya lebih mudah ikhlas menerima
keadaan konyol semacam ini, toh Allah sudah memberi banyak kenikmatan lain pada
saya.
Begitulah pengalaman berempat kami naik kereta api. Semoga
menghibur buat yang udah membaca ya, hehe.
Selamat berlibur atau bepergian dengan kereta api ya!